Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sang Pelopor Penaklukan Konstantinopel

Sang Pelopor Penaklukan Konstantinopel

Ali Zain Aljufri - Dikala Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memasuki kota Madinah, unta yang beliau tunggangi bersimpuh di depan rumah Bani Malik bin Najjar. Karenanya beliau turun dari atasnya dengan penuh harapan dan kegembiraan. Salah seorang Muslim tampil dengan wajah berseri-seri sebab kegembiraan yang membuncah. Dia maju lalu membawa muatan dan memasukkannya, kemudian mempersilakan Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masuk ke dalam rumah. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengikuti sang pemilik rumah.

Siapakah orang mujur yang dipilih sebagai persinggahan Rasûlullâh dalam hijrahnya ke Madinah ini, dikala seluruh penduduk menginginkan Nabi mampir dan singgah di rumah-rumah mereka? Dialah Abu Ayub Al-Anshari Khalid bin Zaid, cucu Malik bin Najjar. Pertemuan ini bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, sewaktu utusan Madinah pergi ke Makkah untuk berbaiat dalam baiat Aqabah Kedua, Abu Ayub Al-Anshari termasuk di antara 70 orang Mukmin yang mengulurkan tangan kanan mereka ke tangan kanan Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam serta menjabatnya dengan kuat, berkomitmen penuh loyalitas dan siap menjadi pembela.

Dan sekarang, dikala Rasûlullâh bertempat tinggal di Madinah dan mewujudkan kota itu sebagai sentra agama Allah, karenanya nasib beruntung yang sebesar-besarnya sudah terlimpahkan terhadap Abu Ayub, sebab rumahnya dibuat tempat pertama yang didiami Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau akan tinggal di rumah itu sampai berakhirnya pembangunan masjid dan bilik beliau di sampingnya.

Semenjak orang-orang Quraisy bermaksud jahat kepada Islam dan berencana menyerang Madinah, semenjak itu pula Abu Ayub mengalihkan aktifitasnya dengan berjihad di jalan Allah. Dia ikut serta bertempur dalam Perang Badar, Uhud dan Khandaq. Pendek kata, hampir di setiap medan tempur, dia tampil sebagai pahlawan yang siap mengorbankan nyawa dan harta bendanya. Motto yang senantiasa diulang-ulangnya, di waktu malam maupun siang, dengan suara keras atau lembut yaitu firman Allah Subhannahu Wa Ta’ala:

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS At-Taubah: 41)

Sewaktu terjadi perseteruan antara Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Sofyan, Abu Ayub berdiri di pihak Sayyidina Ali tanpa sedikit keraguan. Dan kala Sayyidina Ali bin Abi Thalib syahid, dan khilafah berpindah ke Mu’awiyah, Abu Ayub menyendiri dalam kezuhudan. Tidak ada yang diinginkannya dari dunia kecuali tersedianya suatu tempat yang luang untuk berjuang dalam barisan kaum Muslimin.

Masjid Abu Ayyub Al Anshari
Masjid Ayyub Sultan © Wikipedia

Demikianlah, dikala diketahuinya balatentara Islam tengah bergerak ke arah Konstantinopel, dia langsung mengendalikan kuda dan membawa pedangnya, memburu syahid yang semenjak lama dia dambakan. Dalam pertempuran inilah dia menderita luka berat. Dikala komandannya datang menjenguk, napasnya tengah berlaga dengan hasrat menghadap Robbal ‘Alamiin. Karenanya bertanyalah panglima pasukan waktu itu, Yazid bin Mu’awiyah:

“Apakah harapan anda duhai Abu Ayub?”
Abu Ayub memohon kepada Yazid, sekiranya dia sudah meninggal supaya jasadnya dibawa dengan kudanya sejauh jarak yang bisa dicapai ke arah musuh, dan di sanalah dia akan dikebumikan. Kemudian hendaklah Yazid berangkat dengan balatentaranya sepanjang jalan itu, sehingga terdengar olehnya suara telapak kuda Muslimin di atas kuburnya, dan diketahuinya bahwa mereka sudah berhasil menempuh kemenangan.

Dan sungguh, wasiat Abu Ayub itu sudah dijalankan oleh Yazid. Di jantung kota Konstantinopel yang kini bernama Istanbul, di sanalah terdapat pekuburan laki-laki besar. Sampai sebelum daerah itu diatur orang-orang Islam, orang Romawi dan penduduk Konstantinopel memandang Abu Ayub di makamnya itu sebagai orang suci. Dan yang mencengangkan, para pakar sejarah yang mencatat momen-momen itu berkata:

“Orang-orang Romawi acap kali berkunjung dan berziarah ke kuburnya dan minta hujan dengan perantaraannya, apabila mereka mengalami kekeringan.”
Jasad Abu Ayub Al-Anshari masih terkubur di sana, tetapi ringkikan kuda dan gemerincing pedang tidak terdengar lagi. Waktu sudah berlalu, dan kapal sudah berlabuh di daerah tujuan. Abu Ayub sudah menghadap Illahi di tempat yang dia dambakan.

Post a Comment for "Sang Pelopor Penaklukan Konstantinopel"