Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pastikan NKRI Negara Islam atau Bukan?

Pastikan NKRI Negara Islam atau Bukan? - Ali Zain Aljufri

Ali Zain Aljufri - Jika kita membuka kembali lembar-lembar sejarah, ditemukan sebuah realitas di negeri Makkah dan Madinah pasca hijrah sebelum penaklukan Makkah. Di Makkah saat itu, hukum-hukum Islam tidak diterapkan dalam konteks negara dan masyarakat, meskipun di sana telah tampak sebagian syiar agama Islam, yakni sholat yang dikerjakan oleh kaum Muslim yang masih tinggal di Makkah; itu pun harus ada izin dari orang-orang kafir sebagai penguasa Makkah. Selain itu, umat Islam yang ada di Makkah tidak mampu menjamin keamanannya secara mandiri; mereka hidup di bawah jaminan keamanan kaum kafir. Realitas ini menunjukkan kepada kita, bahwa di Makkah tidak ditampakkan hukum-hukum Islam dan jaminan keamanan atas penduduknya berada di tangan orang kafir.

Keadaan ini sangat berbeda dengan Madinah. Di Madinah, Rasulullah membentuk sebuah sistem pemerintahan. Hukum-hukum Islam diterapkan dan ditampakkan secara jelas, dan jaminan keamanan dalam dan luar negeri berada di bawah kendali kaum Muslim. Ada sebuah riwayat dari Sulaiman bin Buraidah bahwa suatu ketika Nabi bersabda:

أُدْعُهُمْ إِلَى الإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوكَ فأَقْبِلْ مِنْهُمْ و كُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أُدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوّلِ مِنْ دَارِهِمْ الى دَارِالمُهَاجِرِيْنَ و أَخْبِرْهُمْ أَنَّهُمْ إِنْ فَعَلُوا ذَلِكَ فَلَهُمْ ما لِلْمُهَاجِرِيْنَ وَ عَلَيْهِمْ مَا عَلَى الْمُهَاجِريْنَ
“Serulah mereka pada Islam. Jika mereka menyambutnya, terimalah mereka, dan hentikanlah peperangan atas mereka, kemudian ajaklah mereka berpindah dari negerinya ke darul-Muhajirin (darul-Islam, yang berpusat di Madinah), dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka telah melakukan semua itu maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang dimiliki kaum muhajirin, dan juga kewajiban yang sama seperti halnya kewajiban kaum Muhajirin”. (HR. Muslim)
Para pakar fikih telah membahas istilah ini di dalam kitab-kitab mereka. Dengan penjelasan tersebut, kita dapat memahami syarat, sifat, serta kriteria yang harus dimiliki suatu negara hingga absah disebut negara Islam. Selanjutnya kita juga bisa memahami status negeri kita, apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) termasuk negara Islam atau bukan. As-Sarkhashi, ulama Hanafiyah mengatakan:
“Sesungguhnya sebuah tempat diafiliasikan kepada kita (umat Islam), atau kepada mereka (kaum kafir) berdasarkan kekuatan dan kekuasaan. Semua tempat yang berserak kesyirikan di dalamnya, dan kekuasaan di tangan kaum musyrikin, maka itu dinamakan negara kafir. Dan, semua tempat yang tersebar di dalamnya syiar-syiar Islam, dan kekuatannya di pegang kaum muslimin, maka itu dinamakan negara Islam.” (Syarhus-Sa’ir, juz 3 halaman 81)
Ulama Mazhab Syafi’i, Imam ar-Rafi’i berkata:
“Cukup sebuah negara dikatakan negara Islam, jika berada di bawah kekuasaan imam (kaum muslimin), meskipun tidak ada satupun muslim yang di sana.” (At-Taj wa Iklil, juz 1 halaman 451)
Lebih jelasnya, menurut pengikut mazhab Syafi’i, darul-harb adalah negeri-negeri kaum kafir (biladul-kuffar) yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum Muslim. Adapun darul-Islam menurut pengikut mazhab Syafi’i adalah setiap negeri yang dibangun oleh kaum Muslim, seperti Baghdad dan Bashrah; atau penduduknya masuk Islam, seperti Madinah atau Yaman; atau negeri yang ditaklukkan dengan perang, semacam Khaibar, Mesir dan wilayah kota Irak; atau ditaklukkan secara damai; atau wilayah yang kita miliki dan orang kafir yang hidup di dalamnya membayar jizyah (pajak). Ulama Mazhab Hanbali, Ibnu Muflih berkata:
“Setiap negara yang tampak dominan adalah syiar Islam, maka disebut negara Islam, sedangkan bila syiar kafir yang tampak dominan, maka disebut negara kafir.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, juz 1 halaman 212)
Beberapa pendapat ini bervariasi, tapi bermuara pada satu simpul pengertian bahwa, tolak ukur suatu negara disebut negara Islam atau negara kafir adalah kekuasaan atas negara tersebut. Adapun terlihatnya syiar-syiar Islam, bisa diarahkan pada pertanda dan indikator akan adanya kekuasaan tersebut, yang terkadang lemah dengan hanya sebagian saja syiar yang tampak dan disertai adanya syiar-syiar kafir.

Sebenarnya, tidak ada perbedaan di kalangan fuqaha, bahwa darul-kufri bisa berubah menjadi darul-Islam dengan tampaknya hukum-hukum Islam di sana. Mereka berbeda pendapat mengenai darul-Islam, kapan ia bisa berubah menjadi darul-kufr? Abu Hanifah berpendapat, darul-Islam tidak akan berubah menjadi darul-kufr  kecuali jika telah memenuhi tiga syarat;

  1. Telah tampak jelas diberlakukannya hukum-hukum kufur di dalamnya.
  2. Meminta perlindungan kepada darul-kufr.
  3. Kaum Muslim dan dzimmi tidak lagi dijamin keamanannya, seperti halnya keamanan yang mereka dapat pertama kali, yakni jaminan keamanan dari kaum Muslim.
Adapun Abu Yusuf dan Muhammad berpendapat, cukup dengan satu syarat saja, yakni tampaknya hukum-hukum kufur (bukan hukum Islam) di negara itu. Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkomentar, jika pendapat Abu Hanifah itu diterapkan maka negeri-negeri mulai dari wilayah barat hingga daerah Turkistan dan Pakistan masuk dalam kategori darul-Islam. Sebab, walaupun penduduknya tidak menerapkan hukum-hukum Islam, mereka hidup dalam perlindungan kaum Muslim. Karena itu, negeri-negeri ini termasuk darul-Islam. Jika pendapat Abu Yusuf dan Muhammad serta para fuqaha yang sejalan dengan keduanya diterapkan maka negeri-negeri Islam sekarang ini tidak terhitung sebagai darul-Islam, tetapi darul-harb. Sebab, di negeri-negeri itu tidak tampak dan tidak diterapkan hukum-hukum Islam. (Syaikh Muhammad Abu Zahrah, Al-Jarimah wa al-’Uqubah fi Fiqh al-Islami, halaman 343) Begitupun Indonesia, karena negara ini dikuasai oleh pemimpin yang muslim dan juga di dalamnya tampak syiar-syiar agama Islam. Negara Indonesia adalah negara Islam yang diberlakukan hukum Islam meski tidak secara total. Adzan bebas dikumandangkan, lembaga-lembaga penerimaan zakat diadakan, tim penentuan awal Ramadhan dibentuk, disediakan panitia pemberangkatan jamaah haji dari pemerintah, akad nikah sesuai dengan syari’at Islam dan lain-lain sebagainya, maka Indonesia adalah negara Islam (tidak, jika mengikuti Abu Yusuf).

Memang hukum-hukum pidana belum terlaksana secara penuh di Indonesia, seperti, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina yang sudah menikah, hukum qishash, dan lain-lain. Namun, hal itu tidak menghalangi kita untuk menamakan negeri tercinta ini sebagai negeri Islam, selama syiar-syiar Islam tersebar yang telah disebutkan di atas ditampakkan. Seperti halnya apabila ada seorang muslim yang durhaka: bakhil, tidak mau puasa, suka berjudi, berzina, minum khamr; apakah kita mengatakan ia kafir murtad keluar dari Islam hanya lantaran ia tidak menerapkan syari’at Islam pada dirinya sendiri secara penuh? Maka bisa jadi negara atau pemimpin yang belum bisa menerapkan syiar Islam secara sempurna juga seperti itu, selama syiar-syiar Islam masih terbesar. Wallahua’lam!

Post a Comment for "Pastikan NKRI Negara Islam atau Bukan?"