Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kita Perlu Negara Muslim, Bukan Negara Islam

Ali Zain Aljufri - Sebenarnya, istilah negara Islam (ad-daulah al-Islamiyah) tidak pernah dikenal dalam Islam, yang ada hanyalah khilafah Islamiyah yang tidak tersekat oleh batas-batas teritorial layaknya negara.  Konsep ini sekadar wacana yang digulirkan oleh Abul A’la al-Maududi (seorang pemikir politik Islam kelahiran Palestina) dan Hasan al-Banna (pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin) sebagai upaya perlawanan terhadap hegemoni Barat yang tak terbendung lagi. Maududi merasa tidak cocok dengan sistem pemerintahan pada zaman sekarang ini. Ia menyatakan bahwa syari’at Islam harus dijadikan sebagai konstitusi negara. Dengan arti lain, undang-undang yang diterapkan dalam sebuah negara harus syari’at Islam secara utuh tanpa perlu adanya ijtihad karena Islam merupakan sistem yang komprehensif dan sesuai dengan tuntutan zaman. Detailnya, ketika suatu negara tidak menjadikan syari’at sebagai undang-undang kendati negara tersebut sudah menjalankan etos Islam dan menciptakan sebuah masyarakat yang egaliter serta jauh dari praktik eksploitasi ras, suku, maupun agama, maka belum layak disebut negara Islam.

Padahal dalam sejarah peradaban Islam sendiri tidak pernah dijumpai konsep negara Islam. Hal ini terekam dalam perjalanan sejarah Islam periode awal tepatnya dalam persoalan suksesi kekuasaan dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kepada Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq kemudian kepada khalifah setelahnya. Dan, ternyata Islam tidak memiiki pola pemilihan pemimpin yang baku, terkadang memakai sistem bai’at seperti pemilihan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq menjadi pemimpin, juga menggunakan sistem istikhlaf sebagaimana pergantian dari Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq ke Sayyidina Umar bin al-Khaththab, sedangkan dari Sayyidina Umar bin al-Khaththab ke Sayyidina Utsman bin Affan menggunakan sistem tim formatur (ahlul-halli wal-‘aqdi) yang berjumlah enam orang dan dibentuk langsung oleh khalifah penyandang gelar amirul mukminin pertama itu. Tiga sistem pelantikan tersebut berlangsung cukup lama. Andaikata Islam mempunyai konsep tetap, tentu ketiga pola tersebut tidak akan dilakukan oleh para sahabat, karena mereka adalah the best public (umat terbaik) yang tidak akan ditemukan padanannya di zaman now.

Begitu juga, kalau kita merujuk pada al-Qur’an dan as-Sunnah serta turats, maka tidak ada satu kalimatpun yang menganjurkan umat Muslim untuk membentuk sebuah Islam state. Yang terpenting adalah selama suatu negara telah membumikan nilai-nilai Islam kendati tidak dijadikan sebuah konstitusi resmi, maka secara substansial negara tersebut sudah bisa dikatakan sebagai negara yang mengejawantahkan nilai-nilai ke-Islaman atau dalam bahasa turats dikenal dengan sebutan darul-Islam, bukan daulah islamiyyah versi al-Maududi yang sarat dengan simbol dan jargon. Dan, istilah darul-Islam ini sendiri merupakan produk ijtihad para ulama dalam menyikapi sistem perpolitikan Islam, bukan sesuatu yang manshush dalam al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian, gelar sebuah negara disebut negara Islam dan tidak, bukan terletak pada konstitusi negara tersebut, tetapi sejauh mana norma dan syiar Islam berlaku di negara itu, semisal umat Islam bebas menjalankan sholat berjama’ah, menjalankan puasa, azan dikumandangkan di mana-mana, tanpa ada tekanan dari pihak non-muslim.

Sehubungan dengan hal ini, Habib Abdurrahman bin Muhammad bin Husen bin Umar Ba ‘Alawi dalam Bughyatul-Mustarsyidin menegaskan bahwa setiap tempat yang penduduknya Muslim dan mampu mencegah dari gangguan orang kafir harbi setiap waktu, maka layak disebut sebagai darul-Islam. Ada yang menyatakan penamaan negara sebagai darul-Islam terletak pada tingkat dominasi hukum-hukum Islam dalam negara tersebut daripada hukum yang lain. Sehingga, sekalipun prosentase penduduk sebuah negara lebih banyak non-muslim, namun syari’at lebih mewarnai kehidupan masyarakatnya daripada hukum positif yang lain, maka status negara itu adalah negara Islam. Begitu juga sebaliknya.

Bahkan menurut suatu keterangan bahwasanya sebuah negara dikatakan darul-Islam ketika pemimpinnya dari kalangan muslim sekalipun mayoritas penduduknya orang non-muslim. Berbeda dari pendapat ini, maka yang terpenting dalam suatu negara adalah etika masyarakat dalam menerapkan syari’at di setiap aktifitasnya. Sebab, memang pada prinsipnya dalam Islam negara itu adalah hukum (al-hukm) dan sama sekali tidak memiliki bentuk negara, sebagaimana pernyataan KH. Abdurrahman Wahid. Hal senada disampaikan oleh Habib Mundzir bin Fuad al-Musawa, pengasuh Majelis Rasulullah. Beliau menyatakan daulah Islamiyyah itu sebenarnya tak pernah dikenal dalam Islam, hanya istilah yang diadakan-adakan saja. Islam adalah anugerah untuk dunia, ia bukan untuk Indonesia, Malaysia, atau negara-negara lain yang dibuat oleh manusia. Oleh karenanya, lanjut beliau, bila ada kelompok manapun yang ingin mendirikan negara Islam, maka hal tersebut adalah tindakan yang tergesa-gesa, muncul dari ide-ide yang tak memahami syari’at Islam dan berfatwa semaunya.

Guna mendukung pernyataannya, alumnus Darul Mustofa, Tarim, Hadramaut itu menyisir sejarah Rasulullah yang berkuasa di Madinah namun tampuk kepemimpinan Madinah tetap dipegang oleh si munafik dari Bani Khazraj yakni Abdullah bin Ubay bin Salul. Oleh sebabnya, yang perlu kita jadikan proyek besar dalam urusan bernegara adalah membenahi tindak-tanduk masyarakat agar sesuai dengan tuntutan syari’at Islam. Demikian ini karena Islam berfungsi sebagai bagian kehidupan sosial yang akan menjadi pemandu jalannya kehidupan bernegara dan bermasyarakat guna mencapai kesejahteraan. Karena pada dasarnya manusialah yang menjadi sasaran terwujudnya kesejahteraan tersebut. Sehingga, pada tahapan selanjutnya akan terwujud sebuah kehidupan bernegara yang jauh dari pergolakan. Wallahua’lam!

Post a Comment for "Kita Perlu Negara Muslim, Bukan Negara Islam"