Konsekuensi Konsep Daulah Islamiyah
Ali Zain Aljufri - Apabila dikaji, pemahaman tentang negara Islam yang dikonsep oleh cendekiawan politik Islam kontemporer jauh berbeda dengan konsep negara Islam yang dirumuskan ulama klasik. Letak perbedaan yang dimaksud terletak pada keharusan formalisasi syari’at. Jika pakar fikih klasik tidak mengharuskan adanya formalisasi untuk label negara Islam, namun tidak demikian dengan aktivis pembentukan negara Islam versi sekarang. Mereka menyatakan (pro formalisasi), sebuah negara bisa disebut negara Islam, apabila syari’at sudah ditransfer menjadi undang-undang yang mengikat (formalisasi syari’at). Bila tidak demikian, maka label negara Islam tidak sah, kendati mayoritas penduduknya Muslim dan syiar Islam menyebar si segala penjuru. Sederhana-nya, formalisasi syari’at adalah sebuah keharusan.
Dalam sejarah, penggagas formalisasi syari’at pertama kali adalah Abdullah bin Muqaffa di masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah saat tampuk kepemimpinan dalam kendali Abu Jakfar al-Manshur. Kala itu, Abdullah bin Muqaffa membujuk Khalifah Abu Jakfar al-Manshur untuk menformalkan syari’at Islam dalam sebuah tulisan yang berjudul Risalatush-Shahabah. Inisiatif ini mendapat respon baik dari khalifah. Guna menindaklanjutinya, Abu Jakfar al-Manshur membujuk Imam Malik untuk menjadikan kitab al-Muwaththa’ agar dijadikan acuan oleh hakim negara dalam memutuskan suatu perkara. Namun, tindakan itu ditolak oleh Imam Malik. Bujukan itu pun terus dilanjutkan oleh Khalifah al-Mahdi kemudian oleh Khalifah Harun ar-Rasyid, tetapi pendiri mazhab Malikiyah itu tetap pada pendiriannya.
Latar Belakang Munculnya Wacana Formalisasi
Sebenarnya persoalan formalisasi syari’at yang dewasa ini banyak digandrungi oleh pelaku politik tak terkecuali di Indonesia, bermula dari dua hal berikut ini:
- Teori relasi agama dan negara yang dibuat oleh sosiolog teoritis poitik Islam yang terbagi ke dalam tiga paradigma. Salah satunya adalah paradigma integralistik. Dalam paradigma ini agama dan negara menyatu. Wilayah agama meliputi wilayah politik dan negara, karena negara merupakan lembaga keagamaan sekaligus lembaga politik. Dengan demikian (menurut paradigma ini) penerapan syari’at Islam sebagai konstitusi resmi atau hukum positif di sebuah negara adalah sebuah ketentuan.
- Teori hakimiyah yang dipopulerkan oleh Sayyid Quthb yang diambil dari pemikiran Abul A’la al-Mawdudi dan selanjutnya menjadi parameter dalam menilai kepemimpinan yang tidak bersumber dari Islam. Biasanya teori ini dijadikan sebagai legitimasi untuk menuduh praktik kepemimpinan saat ini (dalam konteks Indonesia, demokrasi) dengan predikat kafir, karena tidak sepenuhnya mengambil dari Islam. Predikat tersebut sekaligus dijadikan dalih untuk mengkudeta pemimpin negara yang tidak menjadikan syari’at sebagai undang-undang.
”…Dan barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir”.(QS. Al-Maidah:44)Dengan berpijak pada ayat ini, mereka menyatakan bahwa setiap pemerintah yang tidak meggunakan hukum-hukum Allah dalam mengurus kenegaraan, maka pemerintah tersebut melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi kufur.
Kritik Formalisasi Syari’at
Agama dan negara bukanlah dua unsur yang bertentangan secara diametral. Namun, bukan berarti negara menyatu dengan agama, sehingga meniscayakan adanya transmisi syari’at menjadi pasal dalam undang-undang negara. Oleh sebabnya, menilik sejarah di atas (keengganan Imam Malik menjadikan al-Muwaththa’ sebagai acuan dalam memutuskan persoalan) merupakan bukti bahwa hukum-hukum Islam tidak perlu diwujudkan menjadi sebuah konstitusi negara. Tindakan imam Malik tersebut bukannya tidak beralasan, sebab, dalam memutuskan setiap perkara hakim mempunyai pertimbangan dan ijtihad sendiri yang berbeda antar satu dengan yang lain. Terkait hal ini, Ibnu Abdil Barr dalam salah satu bukunya, Jami’u Bayani-ilmi mengutip tentang riwayat
Umar bin al-Khaththab yang bertemu dengan laki-laki. Umar bertanya kepadanya: ”Apa yang terjadi?” Laki-laki tersebut menjawab: ”Ali dan Zaid telah memutuskan begini.” Kemudian Umar bin al-Khaththab berkata: ”Seandainya aku yang menjadi hakim, niscaya aku akan memutuskan seperti ini.” (tidak sama dengan hasil keputusan pertama).Juga Abul Abbas Ahmad bin Idris al-Qarrafi dalam al-Ihkam fi Tamyizi Fatawa wal-Ahkam fi Tasharrufatil-Qadli wal-Imam menegaskan bahwa sunnah Nabi terbagi ke dalam empat:
- Tugas Rasulullah yang berhubungan dengan risalah, dengan memerhatikan bahwa beliau adalah seorang utusan Allah sebagai penyampai berita gembira dan pemberi peringatan (al-basyir wan-nadzir).
- Aktivitas beliau (Rasulullah) dalam memberikan fatwa. Yakni ketika menggambarkan kalimat-kalimat yang tidak dimengerti dari wahyu.
- Tugas beliau sebagai seorang hakim yang memberi putusan dalam persoalan tertentu.
- Aktivitas beliau (Rasulullah) yang terkait dengan politik atau kepemimpinan. Hal ini mencakup semua perkataan, perbuatan, serta pengakuan yang berkenaan dengan aturan pasukan, alokasi dana tertentu, dan yang lainnya.
Lain halnya interpretasi yang absah ayat dalam surah al-Maidah yang dijadikan landasan teori hakimiyyah tersebut menurut sebagian pakar tafsir klasik sangat paradok dengan rumusan dari pegiat formalisasi. Menurut Ikrimah sebagaimana dikutip oleh Fakhruddin ar-Razi dalam Mafatihul-Ghayb ayat di atas ditujukan kepada orang yang ingkar dan menentang hukum-hukum Islam. Mafhumnya, ketika orang tersebut mengetahui dan mengakui bahwa itu merupakan hukum Allah namun ia menerapkan hukum yang lain, maka ia masih berada di jalan Allah. Pendapat yang lain mengatakan ayat tersebut diturunkan untuk orang-orang yang memproduksi hukum yang berbeda dengan ketetapan-ketetapan syari’at, semisal, mengatakan bahwa minum khamr bukan tindakan dosa, puasa Ramadhan bukanlah sebuah kewajiban, dan hukum-hukum lain yang telah muttafaqalaih.
Muhammad Imarah menambahkan sebagaimana tertuang dalam bukunya, ad-Dawlah al-Islamiyah, bahwa makna kata “al-hukm” dalam mayoritas ayat al-Qur’an bukan mengarah pada penetapan aturan-aturan dalam ranah politik. Akan tetapi bermakna putusan (qadla’) dan meleraikan konflik (fashlul-munaza’ah), tidak ada kaitannya sama sekali dengan khilafah, ke-negaraan, atau aturan-aturan dalam sistem politik tertentu. Dan, kalau teori ini terpaksa diaplikasikan dalam ranah fikih politik atau fikih ke-negaraan yang bersifat ijtihadi, maka legalitas ijtihad di semua masa akan tercerabut. Dengan demikian, formalisasi syari’at memang tidak dianjurkan baik oleh al-Qur’an maupun as-Sunnah. Terlebih lagi, dalam tataran aplikasinya, formalisasi syari’at hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat simbolis. Tentu, bukan ini yang kita kehendaki. Wallahua’lam!
Post a Comment for "Konsekuensi Konsep Daulah Islamiyah"