Keterkaitan Agama dan Negara
Ali Zain Aljufri - Gagasan seputar agama dan negara dalam Islam sesungguhnya telah jelas dan tidak memerlukan penjelasan tambahan apapun. Dalam perjalanan sejarahnya, umat Islam juga tidak memiliki masalah dengan hal ini. Sebab sejak awal, akar permasalahannya sangat jelas. Hanya saja, bidah sekularisme atau pemisahan antara urusan agama dan dunia atau negara yang di pelopori oleh Barat, telah memproklamasikan perang terhadap Islam. Sekularisme Barat, yang pada gilirannya dipeluk oleh segelintir pemimpin umat Islam, dengan alasan klasik pemisahan urusan agama dan negara adalah upaya untuk menyehatkan keduanya. Agamawan tak boleh ikut campur urusan negara agar agamanya menjadi sehat. Sementara negarawan tak boleh ikut campur urusan agama agar negaranya menjadi sehat. Urusan negara yang dicampur-baur dengan urusan agama hanya akan mengerdilkan keduanya.
Akan tetapi bagaimanapun, faham sekularisme Barat ini tidak sedang bermaksud baik terhadap Islam. Faham itu dihadirkan ke dunia Islam justru untuk mengecilkan Islam itu sendiri. Sekularisme yang telah menjadi faham resmi di dunia Barat terbukti telah berhasil mengecilkan agama Kristen. Pada masa di mana Gereja masih menguasai dan mendikte semuanya, Barat ada dalam kondisi kegelapan sebab doktrin Gereja bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Maka tibalah saatnya di mana dunia Barat memberontak, Gereja disingkirkan, dan kini urusan agama tak pernah menjadi sesuatu yang vital bagi masyarakat Barat. Agama hanya menjadi urusan individu masing-masing orang. Kini, agama Kristen benar-benar menjadi agama yang kerdil. Tak mampu mengendalikan dunia dan tak bisa berbuat apapun. Dan melalui faham sekularisme, hal yang sama hendak diterapkan pada Islam.
Jelas Islam sangat berbeda dengan Kristen. Kristen, sebagai agama sejarah, sangat bisa dimaklumi jika ajarannya bertentangan dengan ilmu pengetahuan, dan karenanya ajaran-ajarannya tidak mumpuni untuk mengatur segala hal yang diperlukan oleh umat manusia dalam kehidupan mereka. Akan tetapi Islam sangat berbeda. Sebagai agama wahyu, Islam merangkum seluruh ajaran apapun yang diperlukan umat manusia. Islam meng-informasikan segalanya; baik hal-hal yang terdahulu, yang kini sedang berlangsung, maupun nanti yang kelak akan terjadi. Islam mencakup dunia dan akhirat sekaligus. Singkatnya, Islam itu universal. Di samping itu, universalitas ajaran Islam ini tidak saja berbentuk teori dalam kitab suci, akan tetapi juga sekaligus telah diteladankan oleh Nabi. Dengan demikian umat Islam telah memiliki gambaran yang jelas bagaimana seharusnya semua itu diterapkan.
Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sepanjang sejarah kehidupan beliau telah menjalankan berbagai macam peran dalam sektor dan lini kehidupan yang amat beragam; sebagai seorang pedagang, suami, kepala rumah tangga, mertua, menantu, ayah, guru, sahabat, tetangga, prajurit militer, panglima perang, diplomat, kepala negara, dan sebagainya. Peran multilini yang diambil oleh Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut menjadi gambaran yang sangat lugas akan universalitas ajaran yang dibawa oleh Islam. Bahwa Islam mengajarkan dan sekaligus mengatur semua; mulai dari urusan agama, dunia maupun negara; mulai dari urusan privat hingga urusan publik. Tak ada pemilahan dan dikotomi apapun dalam ajaran agama ini, dan tak ada ruang sekecil apapun yang tak terjangkau oleh ajaran dan pandangan Islam. Maka, demikianlah halnya peran yang diambil oleh para pemimpin pengganti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam (khulafâ’), sejak periode ke-khalifahan yang paling awal hingga yang paling akhir. Para pemimpin Islam dalam sepanjang sejarahnya tak pernah hanya sekadar mengurusi urusan negara atau masalah keduniawian semata. Mereka juga mencakup pada urusan sholat, puasa, zakat, haji, dan setiap hal yang diajarkan oleh Islam.
Gambaran ketidak-terpisahan antara agama dan negara dalam Islam ini begitu nyata terlihat dalam segenap aspek ajaran. Hal itu memang sangat terlihat dalam teladan Nabi, sahabat, para ulama, dan para umara Islam. Tapi ia juga kokoh menjulang dalam setiap ajaran, mulai dari fikih, akidah, hingga akhlak. Kitab-kitab fikih dalam khazanah keilmuan Islam sepanjang zaman, mulai dari periode asy-Syafi’i hingga az-Zuhaili, tidak saja ada bab bersuci, puasa, dan sholat, tapi juga mesti ada bab perang, persidangan, hukum, kehakiman, politik, pemberontakan terhadap negara, dan semacamnya. Demikian pula dalam khazanah sekte-sekte yang muncul dalam Islam sepanjang sejarah, baik sekte yang sesat apalagi sekte yang lurus; partai-partai dan gerakan yang mereka usung tidak terlihat adanya pemisahan antara agama dan negara. Sebagai contoh, Syi’ah adalah partai politik Islam, karena misi mereka adalah menegakkan kepemimpinan dari kalangan Ahlul Bait. Akan tetapi pada saat yang bersamaan, Syi’ah juga aliran dalam akidah dan mazhab dalam fikih, karena mereka memiliki akidah-akidah tersendiri dan pandangan fikih tersendiri (fikih Jakfariyah atau fikih Zaidiyah).
Demikian pula halnya dengan Khawarij. Itu juga partai politik dalam Islam, yang biasanya mengambil peran sebagai partai politik oposisi kontra pemerintah. Namun, pada saat yang bersamaan, Khawarij adalah aliran dalam akidah dan mazhab dalam fikih, sebab mereka mengusung akidah yang tersendiri sekaligus memiliki fikih tersendiri (fikih Ibadhiyah). Demikian pula halnya dengan aliran-aliran yang lain dalam Islam.
Al-hasil, semua fakta di atas telah memberi informasi kepada kita dengan amat lugas, bahwa betapa agama dan negara memang tak terpisahkan. Seperti pernyataan al-Imam al-Ghazali yang terkenal:
“Agama dan dunia adalah saudara kembar”.Atau pernyataan beliau yang lain:
“Dunia adalah ladang akhirat. Buah di akhirat tak bisa dituai kecuali jika Anda menanam di dunia”.Dengan demikian maka jangan ada lagi jarak dan upaya dalam rangka pemisahan agama dan negara.
Post a Comment for "Keterkaitan Agama dan Negara"