Sang Perawat di Medan Jihad
Ali Zain Aljufri - Sebuah kalung dihadiahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam atas keberanian Umayyah binti Qais al-Ghiffariah turun ke medan Perang Khaibar. Walaupun seorang perempuan, keberanian Umayyah untuk membela agama Allah Subhannahu Wa Ta’ala sungguh luar biasa. Beliau membela agama Allah sesuai dengan kesanggupannya. Wanita pemberani itu turun ke medan perang untuk menolong dan merawat para sahabat yang terluka. Kalung yang disematkan Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam di leher Umayyah adalah pertanda kekaguman atas perjuangan dan keberanian sang perawat mujahidah.
Umayyah berasal dari suku Ghiffar, keturunan Abu Dzar al-Ghiffari. Dikala masih belia, cahaya iman yang ditebarkan Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyinari harinya. Beliau bahkan rela mencapai perjalanan jauh demi bersua tokoh idola sepanjang zaman, Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Umayyah menghadap Rasûlullâh dan berkomitmen untuk menolong perjuangan dakwah Islamiyah.
Pada tahun ke-7 Hijriah atau 629 M, pasukan Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertempur melawan orang-orang Yahudi yang tinggal di Oasis Khaibar, sejauh 150 kilometer dari Madinah atau Timur Laut Semenanjung Arab. Dengan demikian, pertempuran itu dikenang sebagai Perang Khaibar. Perang itu terjadi tidak lama sesudah Perjanjian Hudaibiyah.
Mendengar pasukan Muslimin akan berangkat ke medan perang, Umayyah bersama sebagian wanita dari Bani Ghiffar lalu menghadap Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Duhai Rasûlullâh, kami berkeinginan keluar bersamamu (ke Khaibar), kami mau mengobati mereka yang luka dan membantu kaum Muslimin semampu kami”, ujar Umayyah seperti dituturkan Ibnu Hisyam dalam “Para Syuhada Wanita Khaibar dan Kisah Wanita dari Suku Ghiffar”.Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab:
“Berangkatlah atas berkah Allah Subhannahu Wa Ta’ala”Dikala itu, umur Umayyah masih belia. Di perjalanan, Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membonceng Umayyah di atas kudanya. Umayyah bahkan mengisahkan pengalaman yang tidak pernah terlupakan dikala bersama Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berjihad ke medan perang.
“Demi Allah, pada ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam turun pada suatu pagi dari kendaraannya dan menambatkan kudanya, tiba-tiba menetes darah saya di atas pelana kudanya. Itulah haid pertama saya di atas kuda beliau. Saya benar-benar malu ketika itu”, papar Umayyah berkisah.Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memperhatikan apa yang dialami Umayyah dan berkata:
“Jangan engkau sedang haid?”Umayyah seketika menjawab:
“Benar, ya, Rasûlullâh.”Lalu, Rasul minta Umayyah membersihkan diri dengan air bercampur garam. Semenjak momen itu, Umayyah senantiasa membersihkan haidnya dengan air yang dibubuhi garam. Malahan, di hari wafatnya, Umayyah berwasiat untuk dimandikan dengan air yang bergaram.
Pada Peperangan Khaibar itu, kaum Muslimin meraih kemenangan. Pasukan Muslimin di bawah komando Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sukses meruntuhkan pintu Benteng Na’im (jantung terakhir konfrontasi musuh). Benteng Na’im jatuh ke tangan pasukan Islam. Sesudah itu, benteng demi benteng dipegang. Seluruhnya dikendalikan lewat pertarungan yang sengit. Orang-orang Yahudi lalu menyerah. Semua benteng diserahkan pada umat Islam. Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan pasukannya untuk konsisten melindungi warga Yahudi dan semua kekayaannya, kecuali Kinana bin Rabi’ (yang ternyata berdusta ketika dimintai keterangan Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam).
Dari Peperangan Khaibar itu, kaum Muslimin menerima harta rampasan perang yang amat banyak. Seusai pertempuran, Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberikan penghargaan kepada Umayyah berupa sebuah kalung. Hadiah yang diberi Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu bermakna bagi Umayyah. Beliau bahkan tidak pernah melepaskan kalung itu dari lehernya hingga jasadnya dikubur di liang lahat, sebagaimana wasiatnya.
Umayyah sangat berbangga memperoleh penghargaan kalung dari Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kelak, kalung tersebut akan menjadi saksi atas jasa dan perjuangannya. Pada hari Kebangkitan nanti, tutur Muhammad Ibrahim Salim dalam bukunya berjudul “Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam” akan dibangkitkan sebagaimana kondisinya ketika meninggal.
“Dari kisah ini, hendaknya para Muslimah meneladani jiwa kepahlawanan Umayyah yang mengikhlaskan dirinya untuk terjun ke medan perang demi mengobati luka dan membantu kaum Muslimin sekuat tenaga”, ungkap Ibrahim Salim.Kisah ini juga menyuarakan kepada kita sikap seorang pemimpin Islam, idola sepanjang zaman Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang begitu menghargai jasa para pejuang.
Post a Comment for "Sang Perawat di Medan Jihad"