Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Qunut Nazilah

Sejarah Qunut Nazilah - Ali Zain Aljufri

Ali Zain Aljufri - Do’a Qunut nazilah atau qunut petaka dibaca ketika umat Islam sedang menghadapi atau mengalami persoalan yang berat, entah itu soal keamanan, bencana alam, tragedi kemanusiaan, dan lain sebagainya. Meski lafadz (bacaan) do’anya berbeda, namun praktik qunut nazilah kurang lebih sama dengan qunut Sholat Subuh (yakni dibaca sebelum sujud atau setelah i’tidal di rakaat terakhir setiap sholat wajib lima waktu).

Ke-sunnahan qunut nazilah tidak berlaku pada sholat lainnya, selain sholat lima waktu tersebut. Di-sunnahkan untuk dibaca dan diamalkan sejauh bencana masih menimpa umat Islam. Jika bencana “sudah tidak ada”, maka tidak di-sunnahkan lagi. Demikian dikatakan Sayyid Bakri dalam kitab I‘anatut Thalibin.

Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang pertama kali mengamalkan qunut nazilah. Hal yang membuat beliau membaca qunut nazilah adalah terjadinya tragedi ar-Raji dan Bir Ma’unah. Dalam dua tragedi itu, utusan umat Islam yang ditugaskan Rasûlullâh untuk mengajarkan Islam kepada Suku ‘Adhal/‘Udhul dan al-Qarahs, serta penduduk Najed dibantai. 

Merujuk pada buku The Great Episodes of Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (Syaikh Said Ramadhan al-Buthy, 2017), pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijriyah, utusan Suku ‘Adhal/‘Udhul dan al-Qarah datang menghadap Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mereka meminta Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam agar mengirim beberapa sahabatnya untuk mengajarkan Islam di wilayah mereka. Rasûlullâh lalu mengutus 10 sahabatnya (dalam riwayat lain menyebut enam orang yang terdiri dari Ashim bin Tsabit (sebagai ketua delegasi), Abdullah bin Thariq, Khubaib bin Adi, Khalid bin al-Bakir, Marstad bin Abi Marstad, dan Zaid bin Datsanah). 

Ketika utusan Rasûlullâh sampai di desa ar-Raji, Bani Lahyan (yang sebelumnya diminta Suku ‘Adhal/’Udhul dan al-Qarah) mengepung utusan Rasûlullâh. Pasukan Bani Lahyan yang terdiri dari 100 pemanah berjanji tidak akan membunuh jika mereka bersedia menyerah. Ashim bin Tsabit dan beberapa orang lainnya menolak menyerah. Mereka langsung dieksekusi mati di tempat. Sementara Zaid bin Datsinah, Abdullah bin Thariq dan Khubaib bin Adi bersedia menyerah. Mereka kemudian dijual di pasar budak di Mekkah. Pada akhirnya, mereka juga dibunuh tuan-tuan yang membelinya sebagai pembalasan atas meninggalnya tokoh-tokoh musyrik Mekkah dalam Perang Badar. 

Beberapa hari berselang, seorang dari kepala suku Bani Amir, Abu Bara’ Amir bin Malik Mula’ib al-Asinnah, mendatangi Rasûlullâh. Dia meminta agar Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengirimkan beberapa sahabatnya untuk mengajarkan Islam di wilayahnya di Najd. Semula Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam khawatir utusannya akan bernasib sama dengan tragedi ar-Raji. Abu Bara’ meyakinkan Rasûlullâh dan siap memberikan jaminan perlindungan (jiwar). Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam akhirnya mengutus 70 orang yang dikenal dengan nama al-Qurra.

Singkat cerita, utusan yang dipimpin Al-Mundzir bin Amir itu dihabisi oleh Amir bin Thufail ketika sampai di wilayah Bir Ma’unah. Hanya ada satu orang yang lolos dari peristiwa pengkhianatan Bani Sulaim tersebut, yaitu Amr bin Umayyah al-Dhamri (riwayat lain menyebutkan Muhammad bin Uqab). Sahabat yang selamat tersebut kemudian balik ke Madinah dan memberi tahu Rasûlullâh tentang tragedi tersebut. 

Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sangat sedih dengan dua tragedi yang merenggut nyawa sahabatnya tersebut. Terlebih, kejadiannya hampir bersamaan, yakni sama-sama bulan Shafar 4 Hijriyah. Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian berdo’a agar Allah memberikan balasan kepada para pengkhianat tersebut selama sebulan penuh setiap Sholat Shubuh. Do’a Rasûlullâh itulah yang kemudian disebut dengan qunut nazilah atau “qunut petaka” dan terus diamalkan hingga kini, terutama ketika umat Islam sedang menghadapi suatu persoalan yang berat.

Perlu diketahui bahwa pengkhianatan itu bukan dilakukan oleh Abu Bara’ (orang yang mengusulkan agar Rasûlullâh mengirim utusan untuk mengajarkan Islam kepada kaumnya), namun oleh anak saudaranya Abu Bara’, Amir bin Thufail. Setelah tragedi itu, Abu Bara’ memerintahkan anaknya, Rabi’ah, untuk membunuh Amir bin Thufail. Karena bagaimanapun, sebelumnya dia sudah berjanji akan memberikan jaminan perlindungan (jiwar) kepada utusan Rasûlullâ, namun akhirnya gagal. Hal tersebut dilakukan untuk membayar kegagalan itu. 

Amir bin Thufail hanya terluka setelah ditikam dengan tombak oleh Rabi’ah. Amir kemudian menuju Madinah untuk membunuh Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mengetahui hal itu, Rasûlullâh berdo’a agar Amir bin Thufail dibalas atas perbuatannya. Di tengah perjalanan, Amir singgah di rumah seorang perempuan yang terkena penyakit. Amir tertular dan meninggal di tengah padang pasir. Nah, itulah tadi sejarah tentang Qunut Nazilah, semoga memberikan khazanah baru Sirah Nabawiyah untuk kita semua. Aamiin!

Post a Comment for "Sejarah Qunut Nazilah"