Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ikatan Cinta Sahabat Nabi

Ikatan Cinta Sahabat Nabi - Ali Zain Aljufri

Ali Zain Aljufri - Abdurrahman bin Auf termasuk kelompok delapan orang yang pertama masuk Islam (bahasa Arab: السَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ, as-sabiqun al-awwalun‎). Beliau termasuk salah satu dari sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam masuk surga dan termasuk enam orang sahabat anggota tim formatur yang bermusyawarah dalam pemilihan khalifah setelah Umar bin Khathab.

Pada zaman Jahiliyah, beliau dikenal dengan nama Abd Amr dan setelah masuk Islam, Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memanggilnya Abdurrahman bin Auf. Beliau memeluk Islam sebelum Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadikan rumah Al-Arqam sebagai pusat dakwah. Beliau mendapatkan hidayah dari Allah dua hari setelah Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq memeluk Islam.

Seperti kaum Muslimin yang pertama-tama masuk Islam lainnya, Abdurrahman bin Auf tak luput dari penyiksaan dan tekanan dari kaum kafir Quraisy. Namun beliau tetap sabar dan tabah. Abdurrahman turut hijrah ke Habasyah bersama kawan-kawan seiman untuk menyelamatkan diri dan agama dari tekanan Quraiys.

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat diizinkan Allah hijrah ke Madinah, Abdurrahman menjadi pelopor kaum Muslimin. Di kota yang dulu bernama Yatsrib ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Anshar. Abdurrahman bin Auf dipersaudarakan dengan Sa’ad bin Rabi Al-Anshari.

“Ketika kami sampai di Madinah, Rasulullah mempersaudarakan antara aku dan Sa’ad bin Rabi’”, kata Abdurahman seperti dikutip Prof. Dr. Muhammad Ash-Shalabi dalam kitab as-Siirah Al-Nabawwiyah.
Lantas Sa’ad bin Rabi’ berkata kepada Abdurrahman:
“Aku adalah orang dari golongan Anshar yang memiliki banyak harta, maka aku membagi setengah hartaku untukmu. Kemudian aku akan menjatuhkan talak kepada istriku. Maka jika masa iddahnya sudah habis maka nikahilah dia.”
Maka berkatalah Abdurrahman:
“Aku tidak membutuhkan hal seperti yang engkau katakan, apakah di pasar terdapat usaha perdagangan?”
Sa’ad menjawab
“Di Pasar Qainuqa’.”
Maka Abdurrahman datang kesana pada pagi harinya dengan membawa keju dan mentega. Sa’ad berkata:
“Abdurrahman sangat giat berjualan di pasar.”
Hingga nampak pada wajahnya rona pucat, Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya:
“Apakah engkau sudah menikah?”
Beliau menjawab:
”Sudah Ya Rasûlâllâh.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya lagi:
“Dengan siapa?”
Beliau menjawab:
“Seorang wanita dari Anshar.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya kembali:
“Berapa mas kawinmu?”
Beliau menjawab:
“Satu biji emas.”
Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda kepadanya:
“Adakanlah walimah (pesta pernikahan) walau dengan menyembelih seekor kambing.”

Dari kisah dua orang sahabat, satu Muhajirin dan satunya lagi Anshar di atas, dapat kita saksikan bahwa kebaikan hati Sa’ad bin Rabi’ disambut dengan sikap menjaga diri dan kehormatan oleh Abdurrahman bin Auf. Bukan hanya Abdurrahman yang bersikap demikian, namun hampir semua kaum Muhajirin, mereka enggan manja terlarut dalam pelayanan kaum Anshar. Banyak di antara mereka yang tinggal sekadarnya di rumah saudaranya dari kaum Anshar. Mereka giat bekerja dan mencari penghidupan untuk kemudian mampu membeli rumah untuk mereka sendiri, di antara mereka seperti Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Utsman, dan yang lainnya.

Rasa cinta terhadap sahabat-sahabatnya, mengalahkan rasa cinta terhadap harta bendanya juga ditunjukkan oleh sahabat Abu Thalhah. Beliau pun akhirnya menyedekahkan harta yang paling dicintainya untuk kaum kerabatnya. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia berkata, Abu Thalhah merupakan orang yang paling banyak memiliki pohon kurma di Madinah, dan hal tersebut merupakan harta yang paling beliau cintai. Tempatnya berhadapan dengan masjid. Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memasukinya dan meminum airnya yang segar. Maka tatkala turun ayat:

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imran: 92)
Ia berkata:
“Sesungguhnya harta yang paling aku cintai adalah pohon kurma yang ada di Bairuha, maka aku akan menyedekahkannya di jalan Allah dengan sebuah harapan akan mendapatkan pahala kebaikan atasnya. Dan menjadi tabungan di sisi Allah kelak. Maka taruhlah, ia wahai Rasûlullâh sesuai yang ditunjukkan Allah kepadamu.”
Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Ini adalah harta yang menguntungkan, aku telah mendengar apa yang kamu katakan dan aku berpendapat engkau menjadikannya sedekah bagi kerabat-kerabatmu.”
Abu Thalhah berkata:
“Aku akan lakukan wahai Rasûlullâh”, maka beliau membaginya kepada para kerabatnya dan kepada anak-anak pamannya.

Persaudaraan yang berlandaskan kasih sayang karena Allah merupakan pondasi paling kokoh dalam pembentukan umat Islam. Karena dengan itu maka akan berdiri bangunan yang lain. Sehingga Nabi sangat memperhatikan agar setiap orang mendalami makna yang terkandung dari sikap saling menyayangi karena Allah dalam pembentukan masyarakat muslim yang baru. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

“Sesungguhnya Allah akan berfirman pada Hari Kiamat: “Di mana orang saling mencintai karena keagungan-Ku, maka pada hari ini Aku akan memberikan mereka tempat bernaung di saat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.”
Cinta karena Allah memiliki dampak besar dalam pembentukan masyarakat Madinah yang baru terbentuk. Jika zaman ini kita ingin membentuk masyarakat Islami, maka hubungan antar sesama Muslim juga harus dinaungi oleh perasaan cinta karena Allah sebagaimana para sahabat Nabi dahulu. Insyaa Allah!

Post a Comment for "Ikatan Cinta Sahabat Nabi"