Memuliakan Syari’at dengan Kaffah
Ali Zain Aljufri - Kecintaan yang teramat kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam semestinya dicurahkan oleh setiap Muslim. Sebab kecintaan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah bagian dari perintah Allah Subhannahu Wa Ta’ala. Selain itu, hal ini merupakan satu di antara bekal seorang Muslim untuk dapat menghuni surga-Nya kelak. Dalam sebuah riwayat sahabat Anas Bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan:
Seorang Arab berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Kapan Hari Kiamat?” Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam balik bertanya kepadanya, “Apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapi hari kiamat?” Dia berkata, “Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.” Beliau bersabda, “Engkau bersama dengan yang engkau cintai.” (HR Muslim, An-Nasa’i, Al-Bazzar dan Ibnu Khuzaimah)Kecintaan yang mendekatkan seorang Muslim dengan aroma surga, tentulah bukan sembarang cinta. Ada kaidah, ada ketentuannya. Tak lain adalah mencintai Allah dengan menjalankan seluruh perintahnya dan menjauhi larangan-Nya. Demikian pula ketika mencintai Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Maka diwujudkan dengan meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam ibadah, dakwah, juga ketaatan dalam syari’at yang kaffah.
Ketika konsep dasar ini dipahami, maka efeknya setiap Muslim akan berlomba-lomba meraihnya. Saling mendukung, saling menguatkan dalam kebaikan dan ketaatan. Maka kecintaan seorang hamba kepada Allah, seharusnya tercurah dengan senantiasa meneladani Rasûlullâh. Beliaulah sosok Nabi penutup yang di amanahi risalah syari’at Islam sebagai tuntunan hidup. Allah Subhannahu Wa Ta’ala berfirman:
“Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Ali Imron : 31)Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) di dalam Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim menjelaskan ayat ini dengan menyatakan:
“Ayat yang mulia ini menetapkan bahwa siapa saja yang mengaku mencintai Allah, sedangkan ia tidak berada di jalan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (thoriqoh Al Muhammadiyyah), maka ia berdusta sampai ia mengikuti syari’at Muhammad secara kaffah (keseluruhan).”
Islam memang menuntut konsep cinta yang nyata. Cinta yang terbukti dengan cara yang syar’i. Begitu pun ketika kita mencintai Rasûlullâh, tiada lain diungkapkan dengan sikap meneladani. Adapun yang mesti diteladani, tentu mesti mencakup semua aspek kehidupan seperti yang memang telah dicontohkan Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Allah Subhannahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apa saja yang Râsûl bawa kepadamu, maka ambillah. Apa saja yang dia larang atas kalian, maka tinggalkanlah. Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah amat keras hukumannya.” (QS Al Hasyr : 7)Sehingga di saat terjangan wacana radikalisme mengarah kepada kaum Muslim, kecintaan kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam seharusnya di realisasi dalam sikap meneladani. Rasûlullâh yang memberi teladan mulai dari saat bangun tidur sampai pada konsep membangun negara dengan kepemimpinan Islam, dan ini berlaku sampai akhir zaman. Tidak ada kaidah tawar menawar di dalamnya. Apalagi sampai pada tindakan mengkriminalisasi atau memberi julukan “radikalisme”.
Sudah saatnya pada momentum Rabiul Awal ini, umat Islam dan penguasa merenungkan apa saja yang telah Rasûlullâh teladankan di bulan mulia ini. Hijrahnya Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ke Madinah terlaksana di Rabiul Awal. Di saat semua sahabat telah berhijrah ke Madinah, hanya tinggal Rasûlullâh dan Sayyidina Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu yang belum berangkat. Beliau menunggu perintah Allah, kapan waktu yang tepat untuk berangkat. Beru setelah turun perintah Allah Subhannahu Wa Ta’ala, Rasûlullâh dan Sayyidina Abu Bakar pun berangkat ke Madinah, setelah malamnya Sayyidina Ali bin Abu Thalib menggantikan beliau di tempat tidur untuk mengecoh kafir Quraisy yang akan membunuhnya.
Rasûlullâh dan Sayyidina Abu Bakar pergi ke Madinah dengan mengambil rute yang tidak biasanya. Beliau berdua bersembunyi di Gua Tsur terlebih dahulu untuk menghindari pengejaran oleh kaum kafir Quraisy. Ibnu Katsir menerangkan bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tiba di Madinah tepat pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal. Inilah momentum berharga bagi umat Islam. Hijrah Rasûlullâh meninggalkan tatanan hidup jahiliyah di Mekkah menuju penerapan syari’at Islam kaffah di Madinah dalam rangka mewujudkan kehidupan yang berlandaskan kitabullah dan sunnah Rasûlullâh.
Pada bulan ini pula Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tutup usia, menghembuskan nafas terakhir. Semesta berduka, bermuram durja. Kiprah dalam ibadah dan dakwah telah terukir indah dalam sejarah. Islam tersebar ke segala penjuru wilayah di luar Madinah. Persia dan Syam ada dalam naungan Islam. Wafatnya junjunan alam, bukan alasan menggoyahkan umat dalam ibadah juga dakwah walau riak-riak pun didapati. Kepemimpinan berlanjut pada Khulafa’urrasyidin. Kepemimpinan Islam pasca Rasûlullâh wafat. Mereka yang senantiasa berpegang teguh pada kitabullah dan sunnah Rasûlullâh, sehingga umat tetap ada dalam kehidupan Islam, menunaikan ibadah, mengemban dakwah dan melancarkan jihad.
Semua lini kehidupan senantiasa berlandaskan syari’at kaffah di bawah naungan seorang khalifah yang senantiasa berperan sebagai pelayan dan perisai umat. Sehingga tak ada lagi ungkapan untuk menelantarkan umat. Sehingga tak ada lagi alasan bagi kita selaku umatnya dalam menafikkan kebenaran syari’at kaffah dalam kepemimpinan Islam yang telah nyata diteladankan Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
“Siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran bagi dirinya, lalu dia mengikuti jalan bukan jalan kaum Mukmin, niscaya Kami membiarkan dia leluasa terhadap kesesatan yang telah dia kuasai itu dan Kami memasukkan dia ke dalam Neraka Jahannam. Neraka jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S. An Nisâ : 115)
Semoga tulisan yang saya jadikan bahan renungan acara rutinan Senin malam Selasa bersama “Jama’ah Hadrah As Syadziliyah” ini memberi manfaat untuk kita semua. Aamiin Ya Robbal ‘Alamiin!
Post a Comment for "Memuliakan Syari’at dengan Kaffah"