Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Meluruskan Tuduhan Kepada Ulama Garis Lurus

Meluruskan Tuduhan Kepada Ulama Garis Lurus - Ali Zain Aljufri

Ali Zain Aljufri - Menanggapi tulisan Imam Jazuli yang berjudul “Menimbang Radikalisme NU Garis Lurus (Neo-Khawarij)” yang dimuat oleh Tribun News. Dalam tulisan tersebut Imam Jazuli menuduh tokoh-tokoh semisal KH. Luthfi Bashori, KH. Idrus Romli dan Buya Yahya tergabung dalam NU Garis Lurus, yang selama ini terkenal berjuang membentengi akidah Ahlussunnah wal Jama’ah dari berbagai virus akidah dengan banyak tuduhan. Di antara tuduhan seperti mengatakan bahwa ketiga tokoh adalah pemimpin NU Garis Lurus mereka terpapar Neo Muktazilah, melakukan pentahrifan kitab Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, melakukan penyelewengan dan penyempitan ajaran komperhensif-holistik dari Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan masih banyak lainnya. Kami hanya mengambil beberapa hal dari tulisan Imam Jazuli yang cenderung menfitnah yang perlu diluruskan.

Pertama, tentang tulisan Imam Jazuli, bahwasannya ketiga tokoh tersebut petinggi NU Garis Lurus, dalam tulisannya Imam Jazuli  menulis:

“Dengan gaya radikal, NU Garis Lurus menjelma gerakan neo-khawarij, yang menuduh sesat siapa saja yang menyimpang dari tafsir keagamaan versi dirinya, termasuk Gus Dur, M. Quraish Shihab, dan Kiai Said Aqil Siradj. Tokoh-tokoh NU Moderat ini tidak lepas dari cercaan mereka. Mencerca tokoh NU moderat sama persis dengan saat mencerca kelompok Jaringan Islam Liberal (Ulil Abshar Abdalla dan kawan-kawan).”
Menurut keterangan KH. Luthfi Bashori, ketika dikonfirmasi tentang masalah NU Garis Lurus. Beliau menjelasakan bahwa julukan NU Garis Lurus yang disematkan kepada KH. Luthfi Bashori dan kawan-kawan adalah murni bahasa wartawan majalah Alkisah. Jadi, NU Garis Lurus itu bukanlah sebuah organisasi, melainkan sebuah sikap keagamaan yang melekat pada ke tiga tokoh. Siapapun orangnya, yang selama ia berbasis Ormas NU dan masih berpikiran lurus sesuai pemikiran Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, bukan seperti oknum-oknum petinggi NU struktural yang terserang pemikiran Liberal dan ada yang Syi’ah, maka orang tersebut (baik dari NU Struktural maupun kultural) mereka tergolong NU Garis Lurus.

Sikap ini mengikuti para pendahulu NU, seperti saat KH. Raden As’ad Syamsul Arifin yang menolak kepemimpinan Gus Dur, karena perilaku Gus Dur yang beliau nilai telah keluar dari aturan syari’at.

“Saya memilih mufaraqah (memisahkan diri), tetap di satu masjid tapi tidak mau jadi makmum. Ya, bagaimana, wong ketika salat imamnya kentut atau kelihatan ‘anu’-nya. Masak saya mau makmum juga.” (Tempo edisi 2 Desember 1989).
Sebagai budayawan, Gus Dur menganggap aktif di bidang kesenian adalah bagian dari dakwah. Karena itu, dia tak menolak saat diminta memimpin Dewan Kesenian Jakarta, menjadi juri film, membuka Malam Puisi Yesus Kristus, dan cenderung membela Syi’ah. Perilaku yang tidak menunjukkan sifat tasawuf dan zuhud dari Gus Dur ini ditanggapi keras oleh Kiai As’ad:
“Ketua NU kok jadi pimpinan ketoprak”
Begitu Kiai As’ad menumpahkan kekesalannya seperti tertuang dalam buku “Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat” karya Syamsul A. Hasan.

Kedua, tuduhan Neo Khawarij kepada tokoh-tokoh di atas yang dinisbatkan kepada kelompok Khawarij dengan istilah Neo Khawarij. Neo Khawarij sendiri diambil dari kata “Neo” dan “Khawarij”. Neo berasal dari kata /néo-/ yang memiliki arti “baru” atau “yang diperbarui”. Sedangkan “Khawarij”  merujuk pada sebuah faham sempalan dalam Islam.  Jadi Neo Khawarij berarti menggambarkan munculnya Khawarij baru dari tokoh-tokoh di atas, namun sayangnya penulis tidak memberikan contoh yang jelas tentang tuduhan tersebut.

Istilah Khawarij menurut Syaikh Abul Mansur Abdul Qahir al-Baghdadi dalam kitab “al-Farqu Baynal Firaq” ialah satu faham sempalan dalam Islam yang berkeyakinan bahwa iman tidaklah cukup hanya di lafalkan dengan kalimat Syahadah, iman harus diikuti amal shaleh. Konsep ini berkembang pada titik pengkafiran pada orang yang melakukan dosa besar. Contoh, orang yang meninggalkan kewajiban haji masuk kategori kafir. Sebab hal ini menyalahi al-Qur’an:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Q.S. Ali Imron: 97)
Intinya, faham Khawarij ini faham takfiri (suka mengkafirkan).

Benarkah KH. Luthfi Bashori, Buya Yahya dan KH. Idrus Romli berfahamkan Khawarij? Ini tuduhan gegabah yang dilakukan seorang yang mengaku akademisi. Sudah banyak diketahui bahwa ketiga tokoh di atas adalah ulama berfahamkan Ahlussunnah wal Jama’ah.

KH. Luthfi Bashori adalah putra dari KH. Bashori Alwi, seorang Ulama sepuh NU di Jawa Timur. Latar belakang pendidikan KH. Luthfi Bashori adalah dari Pesantren Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani seorang “Pendekar Aswaja Makkah” yang gencar melawan Neo Khawarij.  Beliau juga masih aktif di kepengurusan MWC NU Singosari Malang. Adapun karya tulis beliau adalah “Musuh Besar Umat Islam” dan  “Sunni dan Wahabi, Dialog Ilmiah Seputar Amaliah Ahlussunnah wal Jama’ah”.

Perlu ketahui, representasi dari neo khawarij ialah Wahabi Ghulluw. Buku “Musuh Besar Umat Islam” karya beliau ini terfokus pada pembahasan sekte Liberalisme yang membahayakan aqidah umat Islam.

Buya Yahya awal belajar di Madrasah Diniyah yang diasuh oleh KH. Imron Mahbub. Pada tahun 1988 sampai 1993, Buya Yahya kembali melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Darullughah Waddawah di Bangil. Kala itu pesantren tersebut diasuh oleh Habib Hasan bin Ahmad Baharun.

Pada tahun 1993 sampai 1996, Buya Yahya pernah mengajar di Pondok Pesantren Darullughah Waddawah Bangil. Namun di tahun 1996 Buya Yahya berangkat ke Universitas Al Ahgaff Yaman atas perintah dari Habib Hasan bin Ahmad Baharun. Beliau menempuh pendidikan di Yaman selama 9 tahun atau tepatnya sampai tahun 2005.  Tidak hanya menempuh pendidikan di Universitas Ahgaff, Buya Yahya juga belajar di Rubath Tarim yang diasuh oleh Habib Salim Asysyatiri.

Ketika Buya Yahya menempuh pendidikan di Yaman, beliau memang banyak belajar mengenai ilmu fiqih dari para Mufti Hadramaut diantaranya adalah Habib Ali Masyur bin Hafidz, Syaikh Fadhol Bafadhol, dan Syaikh Muhammad Al Khathib. Selain ilmu fiqih, beliau juga belajar mengenai ilmu hadist dari para ahli hadist diantaranya Sayyid Amad bin Husin Assegaf, Habib Salim Asysyatiri serta Dr. Ismail Kadhim Al Aisawi. Selain itu Buya Yahya juga mengambil ilmu ushul fiqih dari ulama-ulama ahli.

Selain belajar, Buya Yahya juga pernah mengajar di Fakultas Tarbiyah dan Dirosah Ilamiah di Universitas Ahgaff Yaman selama 3 tahun.

KH. Idrus Romli sendiri mendalami ilmu Agama di Pesantren salaf Sidogiri selama 18 tahun. Menerima ijazah sanad dari Syaikh Yasin al-Fadani, Makkah al-Mukarramah. Pengabdiannya di NU adalah lewat LBM (Lembaga Bahtshul masail) dan RMI (Rabithah Maahid Islamiyah) PCNU Jember bahkan pernah pula menjabat di LTN (Lajnah Talif wan Nasyr) di NU Jawa Timur. Karya beliau di antara “Madzhab al-Asy’ari Benarkah Ahlussunnah wal Jama’ah”, “Jawaban Terhadap Salafi”, “Pintar Berdebat Dengan Wahabi” dan lain-lain.

Jika melihat dari riwayat hidup para tokoh diatas, baik dari trah keturunan, institusi pendidikan, medan dakwah serta percikan pemikiran yang tertuang dalam karya mereka. Tidak satupun mencerminkan tokoh-tokoh yang dituduh Imam Jazuli ini sebagai para penggerak Neo Khawarij.

Jika hanya lantaran para tokoh itu memilih medan dakwah nahi mungkar dalam bidang aqidah, kemudian dituduh sebagai orang yang berfahamkan Khawarij, lalu bagaimana dengan ulama-ulama dahulu yang berdakwah dalam bidang aqidah semisal Imam al-Ghazali, Syaikh Abdul Qahir al-Baghdadi bahkan sampai Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Kemudian Imam Jazuli melakukan tuduhan kepada ketiga tokoh di atas mentahrif kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” dengan menggeneralisir semua syi’ah wajib dimusuhi. Padahal Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari tidak memusuhi syi’ah secara umum, namun hanya kepada Syi’ah Rafidhah. Imam Jazuli menulis:

“Dalam rangka menyerang NU Moderat, NU Garis Lurus mengangkat isu-isu lama, seperti permusuhan terhadap Syi’ah dan Ahmadiyah. Ironisnya, NU Garis Lurus terperdaya oleh kaum Wahhabi yang mentahrif atau mengubah teks kitab ar-Risalah karya Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Mbah Hasyim tidak memusuhi kelompok syi’ah secara umum, tetapi khusus syi’ah Rafidhah, yakni mereka yang memusuhi para sahabat Nabi. Di Indonesia, kelompok Syi’ah Rafidhah itu tidak ada. Tetapi, karena terjebak oleh versi Wahhabi, NU Garis Lurus menyamakan seluruh syi’ah tanpa mampu membedakannya dengan Rafidhah. Dari sinilah potensi destruktif aliran NU Garis Lurus terlihat nyata. Sehingga ia tak ubahnya dengan golongan radikalis Islam lainnya.”
Yang perlu dipersoalkan dalam paragraf di atas adalah: Pertama, alih-alih mengkritik NU Garis Lurus yang di nisbatkan kepada tiga tokoh di atas, Imam Jazuli terjebak pada Istilah NU Moderat. NU disandingkan dengan Moderat. Sedangkan moderat  sendiri adalah lahir dari Barat Sekuler Liberal yang anti terhadap agama.

Menurut Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi pakar bidang pemikiran, konsep moderat berbeda dengan konsep washathiyah atau tawasshut dalam istilah NU.

“Washathiyah identik dengan keadilan, menunjukkan kemuliaan, kebaikan, keseimbangan dunia-akhirat, tidak berlebihan tidak juga meremehkan ibadah atau perintah agama. Sehingga wasathiyah merupakan sifat dari Islam itu.”
Muslim moderat menurut Barat, adalah dengan ciri-ciri Muslim yang tidak anti semit (tidak anti Yahudi), kritis terhadap Islam dan menganggap Nabi Muhammad tidak mulia dan tidak perlu diikuti, pro kesetaraan gender, menentang jihad, menentang kekuasaan Islam, pro pemerintahan sekuler, pro Israel, pro kesamaan agama-agama, tidak merespons terhadap kritik-kritik kepada Islam dan Nabi Muhammad, anti pakaian Muslim, tidak suka jilbab, anti syari’ah dan anti terorisme. Inilah arti moderat menurut Barat,” tegas Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi.

Dengan menggunakan istilah yang diadopsi dari konsep milik Barat Liberal, maka bisa dikatakan bahwa jika Imam Jazuli yang lulusan al-Azhar ini dengan atau tanpa sengaja dia sudah berpikiran liberal.  Fenomena demikian tidak aneh, sebab sudah banyak sekali orang-orang bahkan tokoh yang terjebak pada pemikiran liberal baik sengaja maupun tidak. Tentunya banyak faktor yang menyebabkan seseorang itu menjadi liberal tanpa sadar.

Kedua, Imam Jazuli tidak faham pemikiran Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, dengan mengatakan bahwa para tokoh yang dituduh NU Garis Lurus ini telah melakukan tahrif kepada kitab Risalah Ahlusunnah wal Jama’ah kitab Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, yang katanya Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari tidak memusuhi syi’ah pada umumnya.

Perlu diketahui, dalam kitab al-Farqu bainal Firaq, Syi’ah secara Global dibagi menjadi tiga yaitu Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Rafidhah dan Syi’ah Ghulluw. Ketiga kelompok syi’ah ini berpecah menjadi beberapa kelompok lagi yang mana ada di antara mereka saling mengkafirkan. Adapun dari ketiga kelompok besar itu, hanya kelompok Zaidiyah yang memiliki kesamaan dengan Ahlussunnah wal Jama’ah.

Namun meski kelompok zaidiyah adalah kelompok paling dekat dengan Ahlussunnah wal Jama’ah, ternyata Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam muqaddimah “Qanun Assasi lil Jam’iyyah Nahdhlatul Ulama” mengatakan Syi’ah Zaidiyah termasuk kelompok Ahlul Bid’ah. Sebagaimana penulis kutip dari tulisan Kholili Hasib M. Ud (seorang pakar bidang aliran sesat dan anggota MUI Jawa Timur) dalam bukunya “Sunni dan Syiah Mustahil Bersatu” dan sub bab Kyai Hasyim Asy’ari tentang Syiah dikatakan:

“Dalam sejumlah kitab yang ditulis oleh beliau (Syaikh Hasyim As’yari), kekeliruan aqidah Syi’ah dibahas dengan panjang lebar dan dengan rujukan ulama salaf. Jelasnya, sebelum beliau mengambil sebuah kesimpulan, beliau sering mengutip pendapat ulama terdahulu dan hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beberapa karya beliau yang layak untuk disebutkan, misalnya adalah, Muqaddimah Qanun Asasi lil Jam’iyah Nahdhlatul Ulama, Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, al-Nur al-Mubin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin, dan al-Tibyan fi Nahyi an Muqatha'ah al-Arham wa al-Aqrab al-Akhwan. Adapun madzhab lain seperti Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Zaidiyah adalah Ahli Bid’ah. Dan sehubungan itu, apapun pendapat yang berasal dari mereka tidak boleh diikuti.”
Jika Syi’ah Zaidiyah yang dekat dan memiliki kesamaan dengan Ahlussunnah wal jamaah dinyatakan Ahli Bid’ah dan dilarang masyarakat Nahdhiyin untuk mengambil pendapat dari mereka. Lantas bagaimana dengan kelompok Syi’ah lainnya yang tentunya lebih ekstrim dan radikal? Dalam hal ini tidak dibutuhkan logika level tinggi untuk mencernanya. Jadi, asumsi adanya perubahan kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dilakukan tokoh ketiga tokoh di atas ini, hanyalah tuduhan keji semata yang tidak memiliki dasar ilmiah yang kuat. Hal ini bisa masuk dalam ranah pelanggaran hukum, karena telah menuduh tanpa bukti apapun.

Pada paragraf akhir Imam Jazuli menulis:

“Jangan sampai menuruti hawa nafsu kekuasaan lalu tega hati melakukan penyelewengan dan penyempitan atas ajaran komprehensif-holistik dari Hadratus Syeikh Hasyim Asyari.”
Faktanya, mereka yang menjadi pengurus NU struktural banyak yang melakukan penyelewengan. Contohnya, terjadi kerjasama antara NU struktural dengan Syi’ah Iran.

Bahkan jauh sebelum itu, Gus Dur dengan tak sungkan-sungkan mengatakan bahwa NU adalah Syiah Minus Imamah. Menurut Sumber : Majalah Berita Mingguan GATRA Edisi : 25 November 1995 ( No.2/II ) bahwa KH. Bashori Alwi mengatakan pernah mendengar pidato Gus Dur di Bangil, Jawa Timur, menyebut Ayatullah Khomeini sebagai waliyullah atau wali terbesar abad ini. Padahal, menurut pendapat Ahlusunah wal Jama’ah, jelas bahwa Syi’ah itu menyimpang dari Islam. Maka KH. Bashori Alwi bertanya:

“Bagaimana sih sebenarnya akidah sampeyan tentang Syi’ah ini?”
Menurut Effendy Choiri, yang dikenal sebagai pendukung Gus Dur, jawaban Gus Dur sebagai berikut:
“Dari segi akidah, memang beda antara Syi’ah dan Sunni. Saya melihat Khomeini itu waliyullah bukan dalam konteks akidah, melainkan dalam konteks sosial. Khomeini adalah satu-satunya tokoh Islam yang berhasil menegakkan keadilan, memberantas kezaliman, dan lain-lain. Jadi soal akidah kita tetap beda dengan Syi’ah.”
Padahal jelas dan tegas sebagaimana kita bahas di atas, bagaimana Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dalam berbagai kitabnya mengatakan bahwa aliran Syiah adalah sesat, walaupun itu Syi’ah Zaidiyah, serta melarang masyarakat NU untuk menjalin hubungan baik dengannya. Lantas siapa yang sebenarnya melakukan penyelewengang terhadap pemikiran Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari? Wallahua’lam!

Artikel ini telah di publikasikn oleh “Tim Komunitas Garis Lurus” dengan judul “Meluruskan Tuduhan Fungsionaris PBNU Kepada Ulama Garis Lurus” dan di tulis ulang di blog ini dengan penyuntingan kata dan ejaan yang disempurnakan.

Post a Comment for "Meluruskan Tuduhan Kepada Ulama Garis Lurus"