Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Langit Mendung Jawa Timur

Langit Mendung Jawa Timur

Ali Zain Aljufri - Kamis, 21 Mei 2020 (28 Ramadhan 1441 H) pukul 04.11 WIB salah satu putra Al Habib Abdurrahman bin Soleh bin Hasyim Aljufri yang bernama Al Habib Soleh bin Abdurrahman bin Soleh bin Hasyim Aljufri berpulang ke hadirat Allah Subhannahu Wa Ta’ala. Di usia yang telah menginjak angka 107 tahun beliau berpulang. Tak ada riwayat sakit yang serius. Bisa dikatakan sakit yang ada adalah penyakit sebagaimana wajarnya orang telah lanjut usia. Di usia 52 tahun hingga akhir hayat beliau habiskan untuk (uzlah/khalwat).

Siapa sebenarnya sosok beliau ini? Beliau adalah putra ke-8 dari 11 bersaudara Al Habib Abdurrahman bin Soleh bin Hasyim Aljufri. Dan beliau adalah paman saya, kakak dari Abah saya Al Habib Alwi bin Abdurrahman Aljufri. Adapun keseluruhan putra putri Al Habib Abdurrahman Aljufri, diantaranya:

  1. Al Habib Zainal Abidin bin Abdurrahman Aljufri
  2. Al Habib Hasan bin Abdurrahman Aljufri
  3. Al Habib Thohir bin Abdurrahman Aljufri
  4. Syarifah Zaenab binti Abdurrahman Aljufri
  5. Syarifah Azizah binti Abdurrahman Aljufri
  6. Al Habib Yahya bin Abdurrahman Aljufri
  7. Syarifah Raguan binti Abdurrahman Aljufri
  8. Al Habib Soleh bin Abdurrahman Aljufri
  9. Syarifah Salma binti Abdurrahman Aljufri
  10. Al Habib Alwi bin Abdurrahman Aljufri
  11. Syarifah Alwiyah binti Abdurrahman Aljufri
Diantara semuanya hanya Al Habib Yahya bin Abdurrahman Aljufri dan Al Habib Soleh bin Abdurrahman Aljufri yang memiliki usia panjang.

Riwayat

Menurut penuturan Kh. Muntaqo Shidiq (salah satu tokoh ulama di Kampung Ledok Wetan, Kecamatan Kota Bojonegoro) sebelum memutuskan khalwat/uzlah beliau terkenal sebagai penjual jamu keliling. Seringkali warga seputaran Pasar Kota (kebetulan kediaman dan kampung halaman saya di sebelah Barat Pasar Kota) Bojonegoro meminta suwuk (istilah meminta barokah do’a dari masyarakat Jawa). Dan dari sinilah karomah beliau terlihat, hampir setiap hari dagangan beliau laris manis. Namun hal ini bukan menyenangkan beliau, puncaknya sebelum terjadinya G30S beliau memutuskan uzlah/khalwat.

Abah saya pernah mengisahkan bahwa ketika beliau uzlah di kamar, sempat ada kekhawatiran dengan keadaan beliau yang beberapa hari tidak makan dan tidak buang hajat. Hal inilah yang memaksa kakak beliau Syarifah Zaenab untuk menjebol pintu kamar dan diganti kelambu. Rupanya disinilah keajaiban terjadi, nampak banyak buah-buahan segar yang zaman itu terkesan mewah dan mahal untuk kehidupan keluarga besar kami. Ketika sang kakak bertanya perihal itu, Habib Soleh menjawab:

قَالَتْ هُوَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ۖ إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Makanan itu dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.” (QS. Ali Imran : 37)
Mendengar hal itu sang kakak terdiam dan tak mampu berkata apa-apa.

Bagaimana karomah beliau di dapatkan? Abah saya mengisahkan bahwasanya Habib Soleh Aljufri ini semenjak kecil ditinggal sang Ibu ketika melahirkan beliau. Kebetulan Ibu beliau berasal dari wilayah Babat, Lamongan. Melihat seorang anak yang di tinggal Ibu, maka iba hati seorang wanita mulia bernama Babah Sheha Rafi’ah binti Muhammad Marta’ (istri pertama Al Habib Abdurrahman bin Soleh Aljufri, sekaligus ibu kandung Abah saya). Babah Sheha yang kala itu juga memiliki seorang putri kecil berusia 1 tahun (Syarifah Raguan binti Abdurrahman Aljufri) merawat dan menyusui Habib Soleh bin Abdurrahman Aljufri. Dari sinilah, cinta kasih dan bakti dari seorang anak di mulai. Dengan tangis haru Abah mengatakan kepada saya

“Wajar dan masuk akal Yek seandainya Mi Saleh dapat kedudukan dan kemuliaan karena baktinya sebagai anak kepada orang tua mengalahkan kami semua anak kandung Ibu. Dengan tulus semasa belum khalwat hingga khalwat, setiap apa yang di miliki Mi Saleh selalu diberikan kepada Ibu. Sehingga ketika akan wafat Ibu pesan ke aku untuk merawat dan menjaga Mi Saleh.”
Kisah ini saya dapatkan ketika baru pulang dari Kalimantan dan bertanya seputar kepindahan beliau ke rumah kami. Ya, sebelumnya beliau tinggal di rumah sebelah timur kediaman saya (rumah peninggalan Babah Sheha) namun jelang banjir besar tahun 2007 beliau pindah ke rumah kami dan menempati kamar belakang (kamar lama saya). Oleh karena itu hingga akhir hayat Abah jarang menjenguk Pesantren beliau Darut Tauhid Al Khoirot di Desa Plosorejo (Kecamatan Dander, Bojonegoro) demi merawat dan terus bersama sang kakak.

Firasat

Semenjak Abah meninggal, Habib Soleh Aljufri dirawat oleh saudara perempuan saya dan beberapa keponakan lainnya. Dan dari semua saudara saya yang ikut merawat semua merasakan bahwasanya mulai bulan Rajab beliau sering bertanya:

“Apa ini sudah waktunya puasa?”
Ada apa dengan bulan puasa? Dan kenapa beliau selalu bertanya? Menurut pandangan saya pribadi ketika terlontar pertanyaan tersebut adalah satu jawaban, yakni beliau sangat semangat menghadapi bulan puasa. Bahkan dalam keadaan sakit apapun tetap melanjutkan puasa. Namun, semua itu salah ketika dalam pertemuan terakhir saya bulan Sya’ban kemarin beliau berbeda dari biasanya. Ada perhatian lebih kepada saya dan istri, bahkan dengan nada memelas beliau berkata:
“Bulan puasa disini aja ya”
Pertanyaan tersebut berulang-ulang dan selalu saya jawab “Insyaa Allah”. Rupanya inilah suatu penyesalan terbesar bagi saya.

Detik Terakhir

Langit Mendung Jawa Timur
Foto Makam Beliau

Rabu, 20 Mei 2020 selepas Maghrib beliau memanggil kakak saya “Syarifah Nur binti Alwi Aljufri” dan meminta di panggilkan Kh. Muntaqo Shidiq dan Kh. Maimun Syafi’i (Syuriah NU Bojonegoro) untuk mengaji. Dan benar ketika yang dimaksud telah tiba, beliau berkata:

“Ya Allah, aku sudah lelah. Tolong semua jangan tanya akulagi ya!”
Lalu di akhir kata beliau mengatakan:
“Aku mau diam saja sekarang, Laa haula wa laa quwata ila billah, Laa ilaha Ilallah”
Seketika beliau terpejam dan sudah tidak sadar lagi hingga pada pukul 04.11 WIB beliau dinyatakan telah berpulang.

Mengapa langit mendung Jawa Timur? Mungkin bisa di katakan inilah saat dimana Allah Subhannahu Wa Ta’ala menunjukkan kepada kita kuasa-Nya. Bagaiamana tidak? Kurang lebib pukul 05.00 WIB saya berangkat dari Omben, Sampang, Jawa Timur hingga masuk wilayah Babat pukul 08.55 WIB hujan deras disertai angin kencang (bahkan di beberapa jalur Pantura banjir), namun begitu masuk wilayah Bojonegoro hujan mereda.

Disini drama di mulai, karena terburu waktu (beriring rasa penyesalan saya yang mendalam kehilangan paman) saya lupa memakai masker. Ada pos penjagaan (walau sebelumnya berhasil lolos karena ada hujan lebat dan angin kencang) yang memaksa saya turun.

“Selamat pagi Pak! Darimana dan mau kemana?”, tanya petugas berseragam Polisi.
Dalam hati mau bohong, namun ini bulan mulia sehingga saya harus jujur apapun resikonya
“Dari Sampang, Madura Pak. Mau ta’ziyah ke Bojonegoro.”
“Bojonegoro mana? Kok tidak pakai masker? Anda tahu konsekuensinya kan apabila tidak pakai masker?”, ucap petugas tersebut.
“Iya saya faham dan sadar betul dengan konsekuensinya. Tapi saya jujur Pak, kalau bukan darurat tak mungkin saya terburu-buru. Ini saja saya sudah di tunggu keluarga karena jenazah Habib Soleh Aljufri masih belum diberangkatkan”, ucap saya.
“Lho, anda keluarga Habib Soleh Aljufri? Kok ndak ngomong Bib. Maafkan saya, mari silakan jalan Bib. Mohon nanti buat jaga-jaga beli masker ya Bib”, ucap petugas tersebut.
Dan Alhamdulillah, saya melanjutkan perjalanan kembali. Namun lagi-lagi perjalanan terasa sangat lama. Banyak pengalihan arus dan kemacetan akibat ulah sebagian pengendara yang parkir di tengah jalan.

Berkali-kali keluarga menelepon dan selalu jawab dengan jujur dan detail posisi saya. Hingga dalam situasi tak menentu itu saya pasrah dan bilang ke istri saya:

“Pah, nanti kalau ada telepon dan keliatannya terburu-buru jenazah mau diberangkatkan, bilang jenazah berangkat duluan saja. Nanti kita langsung ke makam. Abang sudah pasrah, barangkali Mi Saleh tak mau berlama-lama menunggu.”
Istri saya hanya mengangguk tanda setuju.

Tepat pukul 10.05 WIB saya sampai di rumah duka. Nampak ratusan pelayat dari berbagai kota telah berkumpul di jalan raya, hingga jalan lumpuh total. Segera saya menuju ke jenazah paman saya itu. Masyaa Allah! Tampak wajah beliau lebih tampan dari semasa hidupnya. Saya berikan penghormatan terkahir dan berkata dalam hati:

“Mi, maafkan aku yang tak sempat menemani akhir hayatmu”
Tampak istri saya pun ikut terbawa suasana haru di sana. Mas Isman, orang yang ikut merawat mengatakan:
“Beberapa hari ini selalu tanya, Ali kapan pulang? Tak suruh puasa disini lho!”
Setelah selesai memberi penghormatan terakhir, saya bersama Habib Abdullah bin Soleh Al Athas menutup wajah beliau dan ikut mengangkat menuju mobil jenazah.

Kurang lebih pukul 11.30 WIB segala prosesi pemakaman telah selesai dilaksanakan. Beliau di makamkan di makam keluarga besar Al Habib Abdurrahman Aljufri tepat di bawah makam Abah saya. Kini sudah tiada lagi semua putra putri Habib Abdurrahman Aljufri, mereka telah kembali ke Illahi Robby dan berkumpul bersama lagi. Semoga amal ibadah beliau diterima di sisi Allah Subhannahu Wa Ta’ala. Dan ya kita nanti juga pasti akan kembali, semoga pada saat kita kembali termasuk dalam keadaan khusnul khotimah. Aamiin!

Post a Comment for "Langit Mendung Jawa Timur"