Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Taktik Cerdik Khalid bin Walid dalam Perang Mu’tah

Taktik Cerdik Khalid bin Al Walid dalam Perang Mu’tah

Ali Zain Aljufri - Kampung Mu’tah, pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi salah satu saksi penting sejarah perkembangan Islam. Mu’tah merupakan sebuah desa yang berlokasi di perbatasan Syam. Desa yang ada di tepi Sungai Jordan, sekarang masuk dalam provinsi Kerak kawasan Yordania. Mu’tah di waktu ini adalah kawasan yang semarak dengan deretan pohon pinus di sepanjang jalan.

Di dekat kampung ini, terjadi peperangan antara bangsa Arab yang telah memeluk Islam dengan aliansi bangsa Arab pemeluk Nashara dan Bangsa Eropa. Malahan, sebagian literatur menceritakan, perang ini merupakan perang pertama umat Islam melawan bangsa Barat.

Perang ini terjadi pasca Perjanjian Hudaibiyah. Ketika itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengirimkan delegasi ke berbagai wilayah untuk memperkenalkan pesan damai agama Islam lewat surat yang ditulisnya. Salah satu delegasi dikirim pada Gubernur Bashrah, Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Romawi Bizantium. Tetapi, kedatangan delegasi (Harits bin Umair al-Azdi) tidak cuma ditolak Syurahbil, melainkan juga dibunuh dengan kejam. Tentu saja, perbuatan ini dianggap sebagai deklarasi perang kepada kaum Muslimin Madinah. Karenanya, pada tahun ke-8 Hijriah, Rasûlullâh menyiapkan pasukan yang jumlahnya 3.000  untuk menyerang Bashrah. Pada perang ini, Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak ikut serta dan masih berada di Madinah. 

Sebelum berangkat, Rasûlullâh memberi perintah terhadap para pasukan. Pemimpin pasukan ialah Zaid bin Haritsah. Jikalau dia terbunuh, substitusinya ialah Ja’far bin Abi Thalib. Jikalau dia terbunuh, substitusinya ialah Abdullah bin Rawahah. Dan sekiranya dia terbunuh juga, karenanya pasukan Muslimin semestinya menunjuk salah satu dari mereka untuk menjadi pemimpin.

Selain perintah itu, Rasûlullâh juga menginstruksikan terhadap mereka untuk konsisten mengedepankan pesan damai dan mengajak penduduk setempat untuk mengikuti kebenaran. Jikalau mereka menolak, itu tidak masalah. Tapi jika mereka menolak dan bergabung bersama pasukan Bashrah,  berarti mereka layak diperangi.

Pergerakan kaum Muslimin Madinah diketahui Syurahbil bin Amr, penguasa Bashrah. Dia bahkan mempersiapkan pasukan sebanyak 100.000 personel bangsa Arab yang terdiri atas klan-klan Lakham, Judzam, Qain, dan Bahra. Jumlah ini masih ditambah lagi dengan pasukan Romawi, yang juga berjumlah 100.000 personel. Dengan demikian, seluruh pasukan yang hendak berperang melawan pasukan kaum Muslimin berjumlah 200.000 personel.

Pasukan kaum Muslimin yang mendengar kabar soal besarnya jumlah pasukan musuh, sempat ragu dan cemas. Beberapa mereka berpikiran untuk mengirimkan surat kepada Rasûlullâh, memberitahukan keadaan yang dihadapi. Tetapi, panglima pasukan Muslim Zaid bin Haritsah sanggup membakar spirit pasukannya, sehingga konsisten untuk teguh maju ke medan pertempuran.

“Wahai semuanya! Demi Allah, apa yang tidak kalian sukai, justru itulah yang kalian cari sekarang ini, yakni mati syahid. Kita memerangi musuh bukan karena perlengkapan, bukan karena kekuatan, juga bukan karena jumlah pasukan yang besar. Kita memerangi mereka karena agama ini, yang dengannya Allah memuliakan kita. Karena itu, marilah kita semua maju. Kita pasti akan memperoleh salah satu dari dua kebaikan: menang atau mati syahid!”
Pas pada bulan Jumadil ‘Ula tahun ke-8 Hijriah, dua pasukan tersebut bersua di Mu’tah. Seperti yang diinstruksikan Rasûlullâh, mulanya  Zaid bin Haritsah yang tampil memimpin pasukan. Tetapi, sebuah ujung tombak tiba-tiba menghujam tubuhnya, menjadikannya gugur dalam keadaan syahid.

Kepemimpinan pada akhirnya jatuh ke tangan Ja’far bin Abi Thalib. Tetapi, heroisme Ja’far usai dikala sebilah pedang pasukan Romawi menyabet tubuhnya, disusul kemudian dengan sabetan-sabetan pedang lainnya. Tidak kurang dari lima puluh sabetan mengenai tubuhnya. Beliau bahkan gugur sebagai syahid, menyusul Zaid. Kepemimpinan kemudian beralih ke tangan Abdullah bin Rawahah. Tetapi, beliau juga gugur menyusul Zaid dan Ja’far.

Seperti dipesankan oleh Rasûlullâh, jikalau ketiga pemimpin itu gugur, kaum Muslimin sepatutnya mempertimbangkan pemimpin mereka sendiri. Alhasil mereka sependapat menunjuk Khalid bin Al Walid sebagai pemimpin. Khalid bin Al Walid, sebelumnya merupakan panglima perang pasukan musyrikim Makkah yang menumbangkan pasukan Muslim Madinah dalam Perang Uhud. Tetapi, Khalid  walhasil masuk Islam dan menyatakan komitmen setia pada Rasûlullâh Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Kepemimpinan Khalid bin Al Walid dalam pertempuran Mu’tah itu, sanggup membalikkan keadaan yang tadinya menekan pasukan Muslim. Dengan jumlah pasukan yang jauh, Khalid mengatur taktik  memecah pasukan Muslimin menjadi dua sayap. Saat malam tiba, masing-masing sayap pasukan Muslimin menempati posisi yang ditetapkan. Pagi harinya, dua sayap itu menyerang musuh secara bersamaan.

Serangan tiba-tiba dari dua arah ini, terbukti membuat pasukan musuh kaget. Mereka menduga, pasukan kaum Muslimin mendapatkan tambahan pasukan.  Sebelum mereka menyadari apa yang sesungguhnya terjadi, pasukan Muslimin berhasil menghancurkan dan memukul mundur pasukan musuh.

Melihat pasukan musuh mundur, Khalid menginstruksikan pasukannya untuk tidak melakukan pengejaran. Namun, berbalik mundur ke Madinah. Pertimbangan Khalid adalah karena bila pasukan musuh menyadari strategi yang dilakukan pasukan Muslim, maka pasukan musuh akan kembali menyerang mereka dengan kekuatan penuh.

Di Madinah, berita pasukan Muslimin yang berhasil memukul mundur musuh membuat Rasûlullâh dan kaum Muslimin begitu bersuka cita. Namun, sebagian kaum Muslimin merasa kecewa, karena pasukan Muslimin yang mestinya mengejar musuh malah kembali ke Madinah. Sebagian mereka menyambut pasukan Khalid dengan kata-kata sinis. Mendengar ucapan itu, Rasûlullâh segera memotong:

“Mereka sama sekali bukan orang-orang yang melarikan diri dari medan perang. Mereka Insyaa Allah adalah orang-orang yang pulang dan akan kembali berperang.”

Meski pertempuran antara dua pasukan ini digambarkan sangat sengit, namun dilaporkan hanya  12 orang dari pasukan kaum Muslimin yang terbunuh.  Padahal, jumlah korban tewas dari kaum musyirikin sangat banyak. Sengitnya pertempuran, dibuktikan oleh kesaksian Khalid bin Walid yang menghabiskan 9 pucuk pedang dalam perang tersebut. Hanya satu pedang yang tersisa, yakni pedang buatan Yaman. Mengenai perang Mu’tah ini, Allah Subhannahu Wa Ta’ala berfirman:

فَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ ۚ قَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو اللَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Orang-orang yang menyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata, ‘Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah? Dan Allah beserta orang-orang yang sabar’.’’ (al-Baqarah : 249)
Perang Mu’tah ini menggambarkan bagaimana progresivitas Islam begitu terlihat. Tanpa ragu sedikit pun, kaum Muslimin berangkat menuju ke Mu’tah untuk menyerang pasukan Bashrah dan Romawi, karena mereka telah mendeklarasikan perang dengan cara yang sangat keji.

Dipukul mundurnya pasukan Romawi dalam perang Mu’tah ini, dikabarkan telah membuat Kaisar Romawi, Heraklius, menjadi depresi. Ia tidak menyangka bangsa Arab akan mampu bertindak sejauh itu. Perang ini juga membuatnya sadar bahwa kekuatan Islam benar-benar tidak bisa dipandang sebelah mata.

Post a Comment for "Taktik Cerdik Khalid bin Walid dalam Perang Mu’tah"