Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hilangnya Kitab yang Berbicara

Hilangnya Kitab yang Berbicara

Ali Zain Aljufri - Dulu sewaktu Kh. Abdullah Faqih Langitan meninggal dunia Abah berkata kepada saya: “Wafatnya seorang ulama’ itu sama saja hilangnya kitab yang bisa berbicara”. Masih terngiang jelas ucapan itu hingga saat ini. Madura, khususnya keluarga besar Masyayikh Tengginah (Tatangoh, Proppo, Pamekasan, Jawa Timur), beliau adalah Kh. Jazuli Djauhari. Seorang ulama’ karismatik di Madura. Beliau merupakan guru dari mertua saya (khususnya keluarga besar) Habib Ali bin Muhammad As Shofi Aljufri. Meskipun saya bukanlah santri beliau, namun saya begitu mengagumi setiap akhlak dan ketegasan sikap yang acap kali di tunjukkan oleh beliau.

11 Januari 2014 adalah awal perkenalan saya kepada Allahyarham Kh. Jazuli Djauhari. Bersama mertua saya di ajak sowan di kediaman beliau. Kesan pertama yang saya temui waktu itu adalah ketika beliau berucap:

“Yik, sampeyan sama mertuanya punya nama yang sama. Walaupun di panggil Bidin, saya tetap panggil sampeyan Ali saja.”
“Wah, maaf Yai nanti takut salah orang kalau namanya sama”, jawab saya.
“Ya ndak nanti di tulis aja Ali Mantu sama Ali Mertua beres sudah”, ucap beliau sembari tertawa
Semenjak saat itu saya kerap dipanggil Ali meski beberapa orang lain memanggil saya Bidin dan semenjak itu pula saya sering bertemu beliau, terutama periode tahun 2014-2015 selama masih di Madura. Berbagai momen acara, mulai Maulid Nabi, Tahlil dan majelis ilmu yang di datangi oleh ulama’ Mekkah dan Yaman pasti selalu ada beliau.

Tak cukup sampai di situ saja, kekaguman saya kepada Allahyarham Kh. Jazuli Djauhari membuat saya istiqomah selalu sholat Jum’at di Masjid Tengginah. Bahkan momen menunggu beliau pulang untuk sekedar tabarukan juga menjadi hal yang selalu saya nantikan. Pernah ada satu kejadian, ketika selesai sholat Jum’at dan hendak bersalaman (untuk tabarukan cium tangan) Allahyarham Kh. Jazuli Djauhari, rupanya beliau mengenali saya diantara beberapa jamaah.

“Sampiyan Yik Ali mantunya Yik Ali ya?”, ucap beliau.
“Enggih Kiai, kebetulan ini pas lagi kangen pulang ke Madura”, jawab saya.
Segera beliau tarik tangan beliau yang hendak saya cium. Lalu beliau berbisik:
“Jangan cium tangan saya di hadapan banyak orang, saya takut mereka fanatik sama saya dan lupa memuliakan sampiyan dan ahlul bait lainnya”
Sontak hal tersebut mengejutkan saya, bagaimana mungkin saya tak boleh cium tangan beliau? Atau ada yang salah dengan saya? Rupanya semua itu adalah bukti bagaimana beliau begitu memuliakan ahlul bait.

Kenangan Paling Berkesan

Foto Ijab Qobul Ali Zain Aljufri
© Ali Zain Aljufri

Tanggal 7 Agustus 2014 adalah resepsi pernikahan saya. Walaupun saya dan istri sudah sah secara agama pada tanggal 28 Desember 2013 (25 Shafar 1435 H), namun dalam negara masih belum ada status. Barulah pada tanggal 11 Syawwal 1435 H itu. Pada waktu itu Allahyarham Kh. Jazuli Djauhari yang baca Khutbah Nikah. Masyaa Allah, betapa beruntungnya saya bisa dibacakan khutbah nikah oleh beliau.

Selain itu ada satu hal lagi yang istimewa dari Allahyarham Kh. Jazuli Djauhari dalam pandangan saya, yakni kepedulian beliau akan penerapan syari’at dalam masyarakat. Hal ini di buktikan pada sekitar tahun 2014 an ada seorang muhibbin dan santri meninggal dunia. Kebetulan Allahyarham Kh. Jazuli Djauhari yang menjadi imam sholat jenazah sekaligus yang membaca talqin. Seusai acara pemakaman santri tersebut, Allahyarham Kh. Jazuli Djauhari memanggil keluarga yang ditinggalkan dan berpesan:

“Kamu istrinya Fulan bin Fulan ya? Tolong jangan keluar rumah kalau tidak perlu selama masa iddah. Jangan gunakan parfum yang terlalu wangi dan usahakan untuk selalu jaga aurat serta tundukkan pandanganmu. Jangan nikah sebelum masa iddah selesai.”
Bagi sebagian orang ini sepele, namun bagi saya ini istimewa. Di tempat saya di Jawa sudah tidak ada lagi ulama’ yang seperti beliau ini (kalaupun ada tak banyak dan jarang).

Lalu beliau ini sangat istiqomah dalam hal kedisiplinan waktu. Tak peduli dalam acara apapun, berapapun jumlah yang hadir, bahkan medan jalan yang dilalui beliau selalu hadir awal dan tak jarang saya jumpai beliau ikut serta membantu yang punya hajat. Seperti yang saya saksikan di Dusun Srambah, Desa Madulang, Omben, Jawa Timur. Sebagaimana tradisi di Madura adalah menggunakan waktu istiwak, maka acara yang dalam Waktu Indonesia Barat (WIB) di mulai pukul 06.30 atau 07.00 istiwak. Setelah bertemu tuan rumah saya menuju lokasi yang biasanya di langgar (Mushola) sudah banyak orang dan nampak Allahyarham Kh. Jazuli Djauhari tengah memperbaiki mikrofon. Lalu saya bersalaman dan beliau berucap:

“Duduk di sini Yik, langkahi saja saya ndak apa-apa. Ini saya lagi betulkan mikrofon.”
Tentu saja saya tidak melakukan itu karena masih terngiang bagaimana marahnya Abah kalau lihat saya bertindak sembrono melangkahi seorang ulama’. Rupanya hal ini membuat beliau menghentikan aktivitas tersebut.
“Ya sudah saya turun dulu, sampiyan disini lewat sini. Wajar kalau di Jawa melangkahi orang itu dibilang gak ada adab”, ucap beliau sembari tersenyum.
Begitulah akhlak dan pekerti Allahyarham Kh. Jazuli Djauhari. Oleh karenanya betul kata Abah saya bahwasanya:
“Wafatnya seorang ulama’ itu sama saja hilangnya kitab yang bisa berbicara”
Bagaimana mengganti kitab yang bisa berbicara itu? Sambunglah silaturahmi dengan dzuriah (anak cucu) beliau.

Ya Robb, hanya beberapa tahun saya mengenal Allahyarham Kh. Jazuli Djauhari namun serasa puluhan tahun mengenal beliau. Kalaulah perkenalan singkat ini Engkau akhirkan di dunia, maka jangan Engkau akhirkan pertemuan ini di akhirat kelak. Aamiin Ya Robbal ‘Alamiin!

Post a Comment for "Hilangnya Kitab yang Berbicara"